Mohon tunggu...
Rizki Ardi
Rizki Ardi Mohon Tunggu... Konsultan - Anak manusia yang tertarik dengan dinamika kehidupan

I'am Male 35, a muslim, father, a husband, a worker, a son, a brother, a consultant, a traveler, and my self

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Di Balik Pengendara Motogp Jalanan

23 Mei 2019   09:31 Diperbarui: 23 Mei 2019   09:31 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Artikel ini merupakan tanggapan atau mungkin tambahan dari tulisan saudara Agil S Habib yang berjudul 'Wahai Pengendara Motor Kalian Bukan "Rider" MotoGP!'.

Secara umum saya sependapat dengan apa yang disampaikan Pak Agil, bahwa pengendara motor yang mengendarai sepeda motornya secara serampangan, ugal-ugalan, meliuk-liuk di antara kendaraan lain, adalah meresahkakn bagi pengguna jalan. 

Kurang bertanggung jawab terhadap dirinya, orang-orang terdekat, dan pengguna jalan lainnya. Saya tidak tahu apakah Anda pernah berkendara seperti itu? 

Kalau saya pernah dan hampir mengalami kecelakaan. Untungnya Allah masih menyelamatkan diri saya. Untuk itu saya tertarik menulis dari sudut pandang pengendara yang bak rider motogp tersebut. Sudut pandang saya dahulu ketika masih muda.

Tentunya 'pengendara motogp jalanan' itu salah, karena berkendara dengan kurang hati-hati dan cenderung membahayakan diri sendiri dan orang lain. Namun kita mesti mau memahami mengapa mereka berbuat seperti itu, dengan begitu jika ada orang terdekat kita yang berbuat seperti itu, kita dapat lebih memahami posisinya dan mampu memberi pengertian agar mereka lebih hati-hati saat di jalanan.

Pertama: Faktor Motor. Akan beda jika Anda mengendarai misalnya Honda Beat dan Honda CBR 250. Pengendara dengan motor bagus cenderung ingin menguji sampai seberapa kencang motornya, sampai seberapa rebah motornya dapat dibawa menikung, seberapa pakem pengeremannya. 

Yang dari awalnya niatnya menguji motor menjadi keasikan. Ada faktor gengsi juga disana, 'Masa iya Honda CBR250 disalip oleh Yamaha Mio' misalnya. Saya pribadi merasakan kedua hal itu ketika mengendarai motor yang lumayan bagus, ingin menguji motor dan gengsi. 

Lagipula motor sport atau motor dengan cc besar itu kurang nyaman jika dikendarai di kecepatan rendah. Bagi pengendara skutik 125 cc, kecepatan 60 km mungkin sudah lumayan cepat. Tapi bagi pengendara motor sport 150 cc apalagi yang diatasnya, berkendara 60 km itu terasa biasa saja bahkan cenderung lambat.

Kedua: Faktor Orang Lain. Bisa dari komunitas, bisa dari teman, atau sekedar orang asing yang tiba-tiba menyalip dengan tidak sopan. Bisa saja tadinya berkendara santai di jalanan, tiba-tiba ada motor lain entah darimana menyalip dengan tidak sopan.

 Akhirnya terbawa untuk ikut-ikutan kencang. Saya pribadi pernah punya partner kerja sekaligus partner di jalanan, jadi jika berangkat kerja ketemu di jalanan, kebetulan motor kami sama-sama motor sport, jadilah itu balapan jalanan dengan kantor sebagai garis finishnya.

Ketiga: Faktor Psikologis Pribadi. Termasuk faktor usia, faktor emosi sesaat, kemampuan mengendalikan emosi, kepribadian, dan mungkin faktor gender juga. Laki-laki, usia 20an, yang kondisi psikologisnya sedang kurang fit. Akan cenderung berkendara semaunya sendiri tanpa banyak mengindahkan pengguna jalan yang lain. Dibandingkan dengan misalnya ibu-ibu rumah tangga usia 40an. 

Disini menurut saya kemampuan untuk mengendalikan emosi sangat penting. Jangan berkendara ketika emosi Anda tidak stabil, jangan mudah terbawa suasana hati, jangan mudah terbawa emosi.

Keempat: Faktor keterampilan berkendara. Justru semakin orang paham cara berkendara yang baik dan benar, bagaimana pengereman yang baik, bagaimana cara menikung yang aman, bagaimana mengontrol kendaraannya saat di jalanan, pengendara yang memahami batas kemampuan motornya. Pengendara yang mau belajar mengenai hal-hal teknis semacam ini justru cenderung menjadi pengendara yang lebih bertanggungjawab. Dibandingkan dengan pengendara yang cuma modal berani, dan cenderung nekad.

Kelima: Faktor Adrenalin. Tidak dipungkiri bahwa ketika di jalanan, faktor intern yang berperan disana bukan hanya murni logika, refleks ikut bermain, faktor keletihan juga ada, faktor emosi, dan terakhir faktor adrenalin. Adrenalin yang terpicu, yang dalam kondisi tinggi, cenderung membuat pengendara tidak sadar bahwa motornya sudah melaju jauh diatas kecepatan rata-rata, karena baginya di berkendara di kecepatan yang biasa-biasa saja. Adrenalin juga cenderung membuat seseorang abai terhadap keadaan di sekelilingnya. Memang adrenalin ini justru dicari-cari, itu mengapa ada wahana-wahana ekstrim di taman bermain. Roller coaster dirancang bagi orang yang ingin merasakan adrenalin barang sesaat, tidak ubahnya dengan pengendara yang bermanuver bak rider motogp.

Apa yang ingin penulis sampaikan, yaitu bahwa tindakan dan sikap negatif sesorang, diri sendiri atau orang lain, kita harus mau memahami motif dan alasan dibalik tindakan dan sikap tersebut. Dengan memahami latar belakangnya, maka kita akan lebih mampu untuk mengarahkan ke tindakan dan sikap yang lebih baik lagi. Namun jika akar permasalahannya kita tidak selesaikan, bahkan tidak kita pahami, maka bisa jadi kita tak pernah menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Tak ubah layaknya seperti mengutuk kegelapan.

Di jalan tentunya bukan sirkuit, semua orang harus mengendarai kendaraannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tapi tidak dipungkiri banyak orang pula yang rindu akan kecepatan dan rebah di tikungan. Tidak ada salahnya jika kondisi memungkinkan dengan mempertimbangkan faktor keselamatan diri dan juga pengguna jalan yang lain.

Semoga dari kepolisian, dari komunitas-komunitas otomotif, dari masyakarat umumnya. Bisa ada gerakan untuk mensosialisasikan bagaimana berkendara yang aman dan bertanggung jawab. Terutama kepada kelompok yang beresiko tinggi, seperti pelajar SMP dan SMA, komunitas sepeda motor, generasi milenial pada umumnya. Wawasan yang disampaikan tidak hanya terbatas di faktor teknis dan peraturan, harus bisa juga mengajak audience untuk lebih bisa mengontrol emosi ketika di jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun