Mohon tunggu...
Rizki M. Hakim
Rizki M. Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Angkatan Muda Indonesia

A luta continua!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mahasiswa dan Jihad Agraria Kontemporer

10 April 2021   00:52 Diperbarui: 10 April 2021   05:34 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Opportunity that makes the thief (Karl Marx), Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling di rumahnya sendiri (Datuk Ibrahim Sutan Malaka).

Studi agraria kritis mengajak kita untuk berkenalan dan memahami persoalan agraria kontemporer. Dalam hal ini, studi agraria kritis memandang agraria tidak hanya sebatas objek (tanah, ladang, ataupun pertanian), namun melihat diskursus agraria lebih jauh. Yakni, agraria sebagai subjek yang mampu mempengaruhi relasi sosial antar subjek.

Selayang Pandang Persoalan Agraria Kontemporer

Ketimpangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dinikmati oleh 20% populasi Indonesia. 1% orang kaya menguasai kekayaan nasional termasuk tanahnya (Word Bank; 2020).  Investasi infrastruktur menjadi faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam jangka waktu empat tahun, nilai stok infrastruktur naik menjadi 8% dan angkanya menjadi 35%. Angka tersebut diprediksi akan terus tumbuh, melihat kecenderungan pemerintah dalam mengejar standar ketertinggalan minimal sebesar 70% (Dianto Bachriadi, Dkk; 2017). Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan  peningkatan angka, namun masih dengan ketimpangan pendapatan ekonomi yang sangat timpang. Artinya, hanya segelintir orang saja yang menikmati kekayaan Indonesia. 

Ketimpangan relasi sosial yang disebabkan oleh penguasaan/struktur agraria yang tidak berkeadilan, merupakan muara dari berbagai persoalan sosial-agraria. serta menunjukkan adanya keterbatasan akses terhadap alat produksi yang fundamental (tanah). Sehingga menyebabkan kemiskinan, penindasan, kriminalisasi dan lain semacamnya. Keterputusan akses produsen terhadap alat produksinya paling banyak disebabkan oleh laju percepatan sirkuit kapital (korporasi) dalam melakukan akumulasi primitif dan akumulasi kapital (Karl Marx: 1867). Privatisasi lahan seperti halnya yang dilakukan oleh Inggris pada abad ke 16 (enclosure), memaksa para petani untuk melepaskan lahannya dan dipaksa pula untuk menjadi tenaga kerja murah (Ploretarianisasi) dalam menopang laju kapitalisme.

Pemiskinan dalam bentuk pengubahan corak produksi telah berlangsung secara mengakar dan menyejarah. Kaptalisme sebagai alat antitesa terhadap corak produksi feodalisme (Smith: 1776) telah berubah bentuk dan menjelma menjadi alat pemangsa dan predator kaum kapital terhadap kaum-kaum marginal (Fukuyama; 1999). Sejarah telah membuktikan bahwasanya kapitalisme telah menjebak umat manusia kedalam bentuk relasi sosial yang saling berkompetisi dan menindas satu sama lain.

Bahkan dalam perkembangan kapitalisme kontemporer, memungkinkan negara dan oraganisasi-organisasi internasional untuk menyangga kepentingan korporasi multinasional (Harvey; 2003). Keberpihakan negara terhadap kepentingan korporasi multinasional menunjukkan fenomena perselingkuhan negara dengan kapital (neo imprealisme) serta menjadikan rakyat-rakyat marginal sebagai objek eksploitasi. Tak berhenti disana, semenjak konfrensi Washington Consensus 1989, memungkinkan negara menjadi aktor-aktor kapital (Post Neoimprealism/Ultra Impraelism). Washington Consensus memungkinkan Pasar Bebas dan Developmentalisme (Pembangunisme) yang diadopsi oleh sejumlah negara, mentumbalkan negara-negara berkembang untuk dieksploitasi sumber daya alamnya dan pembentukan tenaga kerja murah.

Tunduk Tertindas atau Bangkit Melawan?

Jihad dan perjuangan sosial-agraria menjadi sebuah kewajiban (fardu 'ain) untuk kaum yang berakal dalam membela kepentingan kaum mustad'afin (marginal). Pemiskinan dan pencurian oleh kapital (dalam bentuk perampasan lahan produksi, pencurian nilai lebih, marginalisasi, dls) merupakan dasar untuk bergerak dan bangkit dalam membentuk tatanan sosial-agraria yang berkeadilan.

"Selama ada penindasan selama itulah ada perlawanan. Cacingpun bila diinjak, bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak akan berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si bengis Nero, menguatkan majunya Kaum  Kristen. George III mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsairisme di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di India melahirkan Boikot dan Swarway, demikianlah tak akan putus-putusnya." (Tan Malaka: 1926).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun