Mohon tunggu...
Rizki Affiat
Rizki Affiat Mohon Tunggu... -

Rumit tapi sederhana, dekonstruktif dan (harus) produktif. http://rizkiaffiat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gas, Darah, dan Lara: Sebongkah Asa di Aceh Utara

29 Juli 2011   07:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:16 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah lama tak jumpa, akhirnya kami bertemu pada siang yang terik itu di sebuah cafe di sudut simpang kota Lhokseumawe. Sobat saya itu tak berubah: tetap ceria dan sedikit usil, tapi juga masih satir, kritis, dan idealis seperti yang saya kenal. Di setiap tuturannya, ia selalu menyelipkan kedukaan terhadap nasib Aceh Utara, meski selalu ada kesan optimisme yang ia sisakan.

Ya, Aceh Utara – “Pasee”, begitulah sobat saya menyebutnya dengan kebanggaan yang pilu. Nama yang disandar dari kegemilangan kerajaan Samudera Pasai dahulu kala. Tempat yang kini merana oleh eksploitasi puluhan tahun melalui perusahaan gas Exxon Mobile, perlawanan GAM yang keras di masa konflik, pembantaian miris pada saat Darurat Militer, korupsi pemerintah, dan kemiskinan yang merajalela.

Bupati Aceh Utara, Tgk Ilyas A Hamid, pernah mengungkapkan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Aceh Utara masih tergolong sangat besar yaitu mencapai 325.500 jiwa atau 61,5 persen dari jumlah keseluruhan penduduk daerah yang terdiri 27 wilayah kecamatan itu (http://tnp2k.wapresri.go.id/berita/penanggulangan-kemiskinan-daerah/110-maskin-aceh-utara-615-persen.html). Derita yang ironis tentang nasib Aceh Utara dan sumber daya alam yang dijarah oleh Exxon Mobile sudah menjadi wacana publik yang terus menyimpan persoalan. Inilah yang selalu disuarakan oleh sobat saya. “Kamu harus datang ke kampung saya dan melihat langsung bagaimana nasib rakyat disini.” Begitu ungkapnya suatu hari dengan berapi-api.



‘Grounding’ – Menelusuri Suara Senyap di Sudut Kabupaten



Sebelum berkelana menuju kampung halamannya, pertemuan di Lhokseumawe itu kami manfaatkan untuk rehat sejenak. Saya paham ia telah menempuh perjalanan panjang untuk menemui saya, terlebih lagi sejak ia baru pulih dari kecelakaan motor beberapa waktu lalu, sehingga melepas lelah menjadi keharusan yang menyenangkan. Kami duduk berdua diantara salah satu meja yang tersusun rapi di tepi balkon café yang terbuka, tepat bersebelahan dengan jalanan. Hanya ada beberapa pengunjung café siang itu, sehingga suasananya tidak bising. Situasi kota Lhokseumawe yang tidak macet membuat para pengunjung masih bisa menikmati suasana (terima kasih itu bukan Jakarta! Kalau di Jakarta, asap knalpot yang ganas dan bunyi rengekan mesin dari ratusan motor dan bus butut itu pasti sudah membuat bubar para pengunjung café). Kami menikmati kopi sambil berkisah tentang politik dan kawan-kawan yang berpolitik, dan justru membuat kami tambah penat. Bedanya, kepenatan kami bagi berdua, menjadikan semuanya terkesan menyedihkan dan lucu dalam kegilaannya.

Sobat saya itu, seorang pemuda sebaya dengan gaya khasnya yang penuh tawa, adalah sosok yang tak segan menggugat, memprotes, dan mengkritisi. Gayanya cuek dan tidak elitis. Namun, dibalik humor pedas dan bahasa urakannya saat berdiskusi, ia berjasa menyulut api semangat para mahasiswa – suka atau tidak – sebagian akan acuh tak acuh atau mencela, sebagian akan menghormatinya.

Setelah beberapa jam mengobrol kesana kemari, kami saling mendiskusikan agenda. Sobat saya itu lalu mengusulkan agar kami melakukan “grounding”, alias terjun mengamati dan mendengar kisah dan sisi lain dari masyarakat biasa, masyarakat akar rumput, di sudut-sudut yang memungkinkan. Saya sepakat. Akhirnya, dengan sepeda motornya, kami melaju.

Pada hari itu juga saya menepati janji saya padanya berbulan-bulan lalu: bahwa saya akan mengunjungi kampung halamannya di Aceh Utara, sebagaimana yang pernah ia minta. Kabupaten yang selalu ia suarakan nasibnya dimanapun, khususnya sewaktu ia masih aktif di Banda Aceh.

Di sepanjang waktu yang kami punya, kami berhenti di daerah Geudong, Bayu, Alue Bungkoh, dan Tanah Luas untuk bertemu dengan beberapa orang yang sudah kami kenal (maupun baru kami kenal) dan membiarkan mereka bercerita tentang apapun. Kami berhenti untuk duduk-duduk di kedai kopi sederhana pinggir jalan, di kedai tepi pantai, di warung dekat pos militer, maupun di rumah penduduk. Kami berbincang dengan para mantan kombatan senior yang masih hidup sederhana dengan idealisme mereka, para pemuda aktivis beragam sikap (meledak-ledak, cuek, santai), ustadz dayah, maupun ibu-ibu yang tidak peduli politik. Impian, ketidakadilan, situasi politik, maupun kehidupan sehari-hari bersliweran dalam percakapan. Sepanjang perjalanan, kami berdua melewatinya dengan saling curhat, diskusi, dan melempar candaan. Meski begitu, pembicaraan kami selalu mengerucut pada keprihatinan dan ketidakpercayaan pada birokrasi dan sistem saat ini.

Di Kampung itulah Jasad-jasad Bergelimpangan

Pusara perjalanan kami sebenarnya mengerucut pada kehidupan sobat saya sebagai anak sulung dari 7 bersaudara, yang tinggal di sebuah desa miskin dekat Exxon Mobile dan persis di belakang pos militer yang cukup besar. Kehidupan dan kecamannya pada ketidakadilan adalah cermin rakyat yang ia suarakan. Kepulangan sobat saya ke Aceh Utara dan meninggalkan semua kegiatannya di Banda Aceh adalah karena tuntutan untuk berbakti pada keluarga dan kabupatennya. Baginya, ini soal nyawa dan martabat orang-orang terdekatnya, sekaligus juga masyarakat sekitar. Persoalan ini begitu personal membekas padanya, sehingga menjadi bahan bakar dari sikapnya terhadap situasi sosial politik di Aceh.

Kami melaju ke desanya yang terletak tidak jauh dari Exxon Mobile, dimana pos-pos tentara juga banyak didirikan. Ia menghimbau agar saya tidak mengambil foto dari pos-pos militer yang ada, karena sangat sensitif. Bahkan ia meminta agar saya segera menurunkan telunjuk tangan saya yang spontan terangkat ketika saya bertanya soal tembok kotak tanpa atap yang berada di tengah padang rumput. “Itu dibangun Exxon diatas jalur pipa, supaya ternak tidak masuk.” Tak jauh dari kotak itu juga terdapat pos militer yang cukup besar.

ExxonMobile punya hubungan erat dengan militer. Ini mengawali kekerasan dan pembunuhan di Aceh, korbannya ribuan orang warga sipil. Tahun 2005, perusahaan menyediakan Rp. 5 Milyar untuk operasi militer, juga memasok sarana dan logistik militer. Pos 13 atau Rancong Camp adalah pos penjagaan ExxonMobile, tempat tentara melakukan interogasi, penyiksaan dan pembunuhan. Itu tak jauh dari pabrik ExxonMobile (http://www.jatam.org/content/view/413/1/). Tahun ini saja beberapa kasus penuntutan terhadap Exxon terjadi, dari mulai ahli waris tanah kecamatan Tanah Luas yang mendemo perusahaan, pembongkaran jalan di kecamatan Meurah Mulia di jalur pipa, tuntutan ganti rugi atas kerusakan fasilitas negara, hingga akuntabilitas pertanggungjawaban sosial perusahaan.

Sambil melaju motornya melintasi jalanan di depan Exxon, ia bertutur sambil tertawa pahit, “Kawan-kawan saya disini sudah capek dengar saya bercerita kepada mereka soal Exxon. Kata mereka, ‘kau merepet terus, oranglain kaya terus’.”

Saya menimpali, “Jadi kalau mau bicara soal itu, harus kaya dulu ya baru didengar mereka?”

Ia tertawa dan berkelakar, “Ya. Jadi saya bisa suapi mulut mereka dengan duit.”

Kemudian kami melintasi jalanan aspal panjang yang lurus membelah areal persawahan yang hijau luas membentang. Ternak-ternak melenggang santai di tepi jalan, beberapa diantaranya tampak rehat di tengah padi-padi yang menghijau. Udara cerah.

“Jalanan ini, kata orang-orang kampung, buruk bawaannya.” Kata sobat saya. Dia lalu menunjuk ke arah parit selebar kira-kira satu meter yang digenangi air kecoklatan, diantara tepi jalan dan sawah yang kami lewati. “Di situlah banyak kami temukan jasad-jasad tergeletak sewaktu konflik…”

Saya menatap parit itu dengan sedih.

Ia melanjutkan dengan berapi-api, “Dulu saya melihat banyak mayat yang dibuang di parit itu, yang jantung dan organ-organ tubuhnya sudah digerayangi belatung. Dengan angin sawah disini, bau jasad-jasad itu tidak terlalu tercium ke kampung waktu itu. Kami sudah letih, Ki.”

Ia lalu menunjuk ke beberapa titik di hamparan sawah itu. “Di beberapa titik itulah Ki, dulu berdiri pos-pos militer. Kami menyebutnya pos monyet karena kecil. Waktu situasi lagi parah, bisa ada sekitar lima puluh tentara di setiap pos. Di pos pusat sana, di desa, ada lebih lengkap lagi persenjataannya.”

Sobat saya menjelaskan, desa dia, meski miskin, tetapi banyak yang cukup terpelajar orangnya. Hal ini menyebabkan mereka berani menuntut pertanggungjawaban para tentara yang – entah bagaimana caranya – telah menghamili beberapa perempuan desa. Karena keberanian itu, para tentara banyak yang kemudian menikahi para perempuan desa. Namun, ini juga menjadi pukulan balik: jika terjadi apa-apa, penduduk desa tidak lagi sanggup memprotes karena sebagian mereka telah punya relasi keluarga melalui pernikahan.

Sobat saya itu juga mengakui dengan kesal dan sedih bahwa di masa konflik banyak perempuan desa-nya yang memang sedang berpacaran dan berdekatan dengan tentara. Ada semacam psikologi patologis konflik yang menimbulkan ketimpangan gender di kalangan perempuan desa bahwa tentara dapat memberikan rasa aman, dan somehow, terkesan gagah dengan seragamnya. Ini sesuatu yang benar-benar terjadi waktu itu.

Prestasi Sunyi Senyap dalam Igauan Penguasa

Akhirnya saya bertemu dengan keluarga sobat saya di desanya. Ibunya, Ayahnya, dan adik-adiknya. Saya menyimak dengan penuh minat bagaimana sobat saya itu berbincang dan bercengkrama dengan Sang Ibu, lalu saling bercerita pada saya tentang suka duka kehidupan mereka. Sang Ibu sangat santai, ramah, dan senang mengobrol, sehingga saya cepat nyaman. Di dekat tempat saya duduk ada sebuah lemari kayu sederhana, dan disitulah beberapa buku sobat saya tergeletak. Yang paling menarik mata saya adalah buku karya Sun Tzu dan Fidel Castro.

Saya membayangkan beban berat yang disandarkan ke sobat saya itu, yang harus menanggung biaya keluarga karena ia adalah anak sulung, sudah sarjana, dan telah bekerja dengan gaji pas-pasan juga. Sobat saya itu harus berjibaku dengan idealisme gerakan dan tuntutan keluarga. Adik-adiknya semua termasuk anak-anak cerdas dan baik. Belakangan, adik tertuanya yang memang berprestasi terpilih satu-satunya mewakili Aceh untuk mengikuti program kebudayaan di luar negeri. Namun, setelah meminta haknya kepada pemda agar membantu membiayai perjalanan sang adik, staf di pemda tersebut menolak. Sobat saya mengatakan bahwa ia sudah menjalani sesuai prosedur dan ia tahu ada anggaran yang diplotkan untuk beasiswa, tapi si staf beralasan sobat saya tidak mendapat rekomendasi dari kepala desa.

Mendengar itu, waktu itu, sobat saya marah. “Jadi saya harus jadi bagian relasi untuk rezim yang sedang berkuasa? Kalau begitu buat surat penolakan resmi. Suatu saat akan saya menuntut pertanggungjawaban ini!”

Sobat saya itu begitu memperjuangkan nasib sang adik sehingga pada akhirnya sang adik bisa berangkat ke luar negeri dengan pinjaman sana sini tanpa dibiayai oleh pemerintah daerah. Dan tidak hanya itu, rupanya sang adik dipilih menjadi penyampai country report di negeri itu, dan di seminar yang dilaksanakan di Kementerian Pertanian, ia juga menjadi pembuka, penutup, dan pemberi saran. Betapa bangga sobat saya itu, namun juga pedih perasaannya mengingat bahwa adiknya, putra berprestasi Aceh Utara, tidak mendapat dukungan pemerintah daerahnya – bahkan ketika proposal dengan surat resmi pun diajukan sesuai prosedur dan hak yang ia sangat ketahui.

Dalam perjalanan pulang di mobil angkutan umum menuju Banda Aceh, saya termenung. Lagu-lagu Aceh yang melodik melankolik berkumandang dari speaker, dengan tema lagu beragam dari mulai kisah tentang seorang ibu yang melepas anaknya pergi untuk membela negeri, derita di masa konflik, hingga lantunan terkenal dari penyanyi Rafli bertajuk ‘Bungong Seulanga’. Pada satu momen di perjalanan itu saya menitikkan air mata. Dalam kegelapan di mobil dan cahaya yang samar-samar di sepanjang jalan yang panjang berkelok dan lengang itu, saya memikirkan tentang kesendirian personal dan semangat kolektif yang saya rasakan bersama kawan-kawan. Saya bangga bahwa di tengah tragedi ini, masih ada sebongkah asa di Aceh Utara. Asa yang menyala dari sobat saya dan beberapa orang dengan semangat perubahan.

Sampai saat ini, sobat saya masih penat dengan tanggungan biaya pendidikan keenam adiknya, ditambah ibunya yang sakit-sakitan dan ayahnya yang kerja seadanya. Di sisi lain, tak jauh dari desanya, Exxon Mobile terus mengeruk sumber alam Aceh Utara, menyedot keuntungan ke kantong para korporat, sementara para penguasa sibuk untuk mengkalkulasi laba rugi politik menjelang pemilu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun