Mohon tunggu...
rizkaita
rizkaita Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca, penulis, dan kawan seperjalanan

Mari berbicara lewat barisan kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Meneruskan Ibadah Saling Jaga agar Tetap Jadi Lentera

14 April 2021   20:55 Diperbarui: 14 April 2021   21:23 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lentera. Sumber gambar: Freepik

Saya masih duduk di ujung kasur ketika membuka layar ponsel guna melihat jam. Tiga puluh menit. Sama seperti tahun lalu. Saya menangis begitu saja selama itu karena perasaan takut.

Bedanya, tangisan pertama muncul di akhir Ramadan. Saya juga mencolek-colek tak tahu diri padaNya agar tahun ini bisa menjalani Ramadan lagi dengan keluarga dan orang terdekat.

Tentu saja, sebagai hamba yang banyak bandelnya saya menangis untuk ini. Sesaat setelah menutup telepon dari ibu yang mengabarkan kapan persisnya puasa akan dimulai, setengah jam saya biarkan airmata memenuhi muka. 

Tentu saja ada kesiut lega mengisi dada yang setahun ini banyak cemasnya. Tapi mengingat posisi kami sekeluarga tahun ini yang justru masih berpencar di tiga kota, takut masih juga meraja.

Sejak SMP, saya sudah menyadari kalau Ramadan adalah satu-satunya bulan dimana saya akan punya kesempatan lengket dengan banyak orang dalam durasi yang cukup lama.

Tahun ke tahun saya selalu menjadikannya waktu penebusan saat tak bisa banyak meluangkan waktu bagi keluarga terdekat sampai teman yang sebetulnya baru dikenal. Tentu saja, ketika pandemi ada saya kira saya sudah kehilangan semuanya.

Tidak perlu ada alasan dibuat-buat karena acara yang saling bentrok, toh memang tahun kemarin seingat saya nihil tawaran agenda buka atau sahur bersama. Tapi pesan berganti-ganti datang, memastikan saya sudah di rumah pada awal PSBB lalu. Lalu setengah puasa berjalan saya baru paham, oh begini rasanya dijaga dengan format berbeda.

Mungkin jika tahun lalu ada satu saja ajakan untuk kumpul bersama, saya tak kuasa menolak. Sebab tanpa pandemi, saya sudah jarang punya kesempatan untuk ada di tengah-tengah kawan lama. Lalu ceritanya mungkin akan sangat berbeda dan saya hanya akan melewati Ramadan tahun ini tanpa nyala waspada di kepala. Saya ingat betul, Ramadan lalu daripada memaksa bertemu muka, saya sering mendengar dan mengucap

"Setelah pandemi ini, kita ketemu, ya!

Jika diucapkan saat ini, mungkin ada telinga yang menangkapnya sebagai basa-basi. Tapi saat itu, satu bulan setelah status pandemi dikukuhkan, kalimat itu dipenuhi harap sungguh-sungguh. Bahwa sebentar lagi ada hari tanpa pandemi. Kalimat yang jika diucap akan bertugas seperti tuas rem baru yang cukup ditarik lembut langsung berfungsi mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.

Sampai saat ini keterangan waktu "setelah pandemi" masih saya gunakan meski frekuensinya berkurang. Demi beberapa kebutuhan tuntas, sekaligus mengisi kegagapan saya bertemu di depan layar. Program vaksin pun sempat rasanya berhasil membuat saya lebih tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun