Mohon tunggu...
Islah R. Nusa
Islah R. Nusa Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Siswi SMAN 1 Padalarang

14 Januari 2003

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bloody Moon

27 Februari 2020   18:55 Diperbarui: 27 Februari 2020   19:00 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Caca yang melihatnya kembali menghela napasnya lelah. "Bukan aku, aku baru pindah ke sini Ti" ucapnya untuk meyakinkan Tio. Walau pun ragu, tapi apa yang dikatakan Caca itu benar. Perasaannya sedikit lega nengetahui bahwa bukan Caca lah yang seorang pembunuh. "Aku gak mungkin pindah kalo bukan karena kamu itu dalem bahaya. Aku gak mau kamu ngalamin kejadian yang sama seperti waktu itu Ti" lanjutnya dengan tatapan hangat.

'Kejadian... waktu itu?-' tiba-tiba saja  semua memori yang pernah ia ingat muncul kembali di benaknya. Ternyara apa yang diimpikannya adalah kejadian yang pernah dia alami sebelumnya. Ibu itu, anak itu. Anak itu! Dia adalah Caca. Caca berusaha menghentikan wanita itu- ibunya dari memukulinya. Tio adalah korban penculikan anak yang pernah terjadi 10 tahun yang lalu. Ibu dari Caca adalah wanita karir yang anak lelakinya meninggal karena dia selalu memukulinya. Tio menatap Caca dengan emosi yang campur aduk.

Caca hanya tersenyum pahit kearahnya. "Aku punya saudara angkat Tio, kamu inget ga? Anak kecil yang suka ngeliatin kamu pas kamu tidur?" Tanyanya. Tio menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Ia mencoba mengingat lagi, dan benar, ada seorang anak kecil yang berpakaian seperti lelaki yang selalu menatapnya saat ia tidur. Anak itu selalu disayang oleh 'Wanita itu'. Ia merasa familier dengan anak tersebut, tetapi dia lupa siapa itu. Baru saja Caca membuka mulutnya untuk berbicara, tiba-tiba ada suara yang memotongnya.

"Yah, keduluan deh" ucap Bulan dari belakang Caca sambil mencekiknya. Caca hanya bisa mencoba untuk kabur, tapi cengkraman Bulan terlalu kuat. Ia tidak bisa bernapas dan pandangannya kabur. Tio panik dan mencoba untuk melepaskan cengkraman Bulan dari leher Caca, tetapi Bulan mengeluarkan pisau. Bulan melepaskan cengkramannya, tetapi sekarang ia menjambak rambut Caca dengan kuat. Lalu ia mengarahkan pisaunya ke arah leher Caca.

"Bulan! Jangan bunuh Caca!" Teriak Tio dengan panik. Ternyata selama ini pembunuhnya ada di depan matanya. "Bulan, aku tau itu bukan kamu! Kamu itu gak kayak gin-" kalimatnya terpotong oleh suara teriakan Bulan. Sekarang ia menodongkan pisaunya ke arah Tio. Ia tertawa bagaikan seorang maniak.

"Kamu gak tau apa-apa! Aku selalu harus pake dan berlaku sebagai cowo!" Teriaknya. Lalu ia mengangkat kepala Caca sambil menunjuknya dengan pisau. "Dan dia? Bebas! Dia bahkan bisa punya semua yang aku mau! Terus pas kamu dateng? Parah Satrio, parah! Aku harus menerima perlakuan yang gak manusiawi dari orang yang pernah kupanggil ibu!" Teriaknya. Tio syok, jadi selama ini yang dimaksud oleh Caca adalah Bulan. Mereka bersaudara.

"Tapi dia itu saudara kamu! Jangan bunuh dia Bulan!" Seru Tio. Ia mencoba memcari jalan keluar untuk kabur, tapi dia tidak bisa menemukannya. Bulan yang menyadarinya pun langsung menggores leher Caca. Tio terdiam. Ia tidak bisa membahayakan nyawa Caca untuk kabur. Tidak, ia tidak mau Caca terluka karena tindakan bodohnya .

"Kamu sama aja ya kayak orang tuamu" mendengar ucapan itu membuat Tio tertegun. Ia tidak pernah menceritakan tentang kedua orang tuanya kepada Bulan, dan Tio baru mengenal Bulan setelah orang tuanya wafat. Jadi bagaimana Bulan bisa tahu?

"Kamu bingung ya, nih ya aku kasih tau" ucapnya dengan nada jahil. Ia mendekatkan kepalanya dan berbicara dengan nada yang pelan. "Kan aku yang ngebunuh orang tua kamu Ti" akunya dengan senyuman yang jahil. Tio diam. Ia tidak tahu harus merasakan apa. Semuanya datajg dengan cepat, terlalu cepat baginya untuk bisa dimengerti. Ia menatap kosong Bulan.

"Aku ngebunuh semua orang itu supaya kalo misalnya kasusnya diselidikin sama polisi, semuanya ngarah ke kamu. Karena cuma kamu yang punya motif untuk ngebunuh semua orang itu" ucapnya lagi. Caca terlihat sudah pasrah ditangan saudara kandungnya. Ia tidak bergerak.

"Tapi, sekarang aku gak bisa ngebiarin kalian idup deh, aku bunuh aja ya?" Sesaat setelah ucapan itu keluar dari mulutnya, Bulan menusukkan pisau ke perut Caca. Caca tidak berteriak, ia hanya terlalu terkejut untuk bereaksi, dan pasti sekarang ia belum merasakan apapun. Tio tersadar dari lamunannya dan mencoba untuk mengambil pisau dari Bulan yang sedang lengah menertawai Caca. Saat telah memegang pisau tersebut, Tio berdiri di antara Caca dan Bulan sembari menodongkan pisau kehadapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun