Mohon tunggu...
Rizal KurniawanHidayat
Rizal KurniawanHidayat Mohon Tunggu... Freelance

Saya memiliki hobi membaca, menulis, dan traveling. Saya juga aktif dalam berbagai aktifitas kerelawanan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Fresh Graduate, Terjaminkah?

19 April 2025   21:25 Diperbarui: 19 April 2025   21:25 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap tahun, ribuan mahasiswa diwisuda dengan penuh semangat dan harapan baru. Di tangan mereka tergenggam ijazah yang telah diperjuangkan bertahun-tahun. Namun begitu mereka melangkah keluar dari gerbang kampus, kenyataan tak seindah pidato wisuda. Dunia kerja ternyata tak secepat itu membuka pintu. Yang menyambut justru adalah ketidakpastian dan persaingan yang semakin ketat.
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menyebut kondisi ini sebagai bukti bahwa pemerintah belum benar-benar siap menghadapi bonus demografi. Padahal, istilah ini sering digaungkan dalam pidato-pidato pejabat, termasuk oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menyebut periode 2030--2045 sebagai momentum emas. Tapi, seberapa siapkah kita benar-benar memanfaatkan "bonus" itu?
Sayangnya, realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak muda, bahkan yang sudah menyandang gelar sarjana, tetap menganggur. Bukan karena mereka tak berusaha, tapi karena memang tak ada cukup ruang yang tersedia. Ironisnya, pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi tiket menuju masa depan, justru berakhir pada antrean panjang pengangguran.
Permasalahannya bukan semata-mata pada kualitas lulusan, tapi juga pada minimnya intervensi konkret dari pemerintah dalam membuka lapangan kerja baru dan meratakan akses pendidikan. Tak sedikit anak muda di desa yang gagal menempuh bangku kuliah bukan karena kurang pintar, tapi karena kurang mampu. Di sisi lain, yang berhasil kuliah pun masih harus berjuang keras untuk bisa bekerja sesuai bidangnya.
Ini adalah tanda tanya besar: Untuk siapa sebenarnya bonus demografi ini? Jika mayoritas pemudanya masih tertinggal akses pendidikan, dan yang sudah lulus pun tidak mendapat tempat dalam dunia kerja, bukankah kita sedang menyia-nyiakan kesempatan langka yang hanya terjadi sekali dalam sejarah bangsa?
Pemerintah seharusnya tak cukup hanya bangga dengan angka usia produktif. Lebih dari itu, perlu tindakan konkret: membuka akses pendidikan hingga ke desa-desa, menyediakan pelatihan kerja yang relevan dengan kebutuhan industri masa kini, hingga menciptakan ekosistem kewirausahaan yang inklusif. Jangan sampai, generasi muda hanya jadi bonus di atas kertas, tapi beban dalam realitas.
Sudah saatnya kebijakan tak hanya berbicara tentang potensi, tapi juga memastikan potensi itu benar-benar tumbuh. Karena generasi muda Indonesia bukan kekurangan semangat---mereka hanya kekurangan kesempatan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun