Mohon tunggu...
Riyan Arthur
Riyan Arthur Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pendidik yang sedang belajar

Pendidik di salah satu sekolah di ibukota

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembangunan SMK Berbasis Infrastruktur Berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2016

29 Juni 2019   01:30 Diperbarui: 2 Juli 2019   03:08 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak kurang dari 7 bidang dalam kompetensi keahlian yang berbasis infrastruktur yang selayaknya dipertimbangkan menjadi percepatan pembangunan di kota-kota besar, dan daerah terluar yaitu teknik sipil basah (dermaga), jalan raya, struktur baja, drainase, transportasi, kepelabuhan, dan kelautan.

Dapat dibayangkan jumlah SMK bidang infrastruktur di Kota sebesar DKI Jakarta saja hanya berjumlah 7 SMK dan itu pun kebanyakan hanya di bidang gambar bangunan (arsitektur). Bahkan SMK di bidang transportasi, kepelabuhan dan struktur baja belum dapat dilihat perkembangan secara baik.

Pada dasarnya bukan salah para calon siswa SMK yang tidak mau masuk ke dalam SMK berbasis infrastruktur tapi karena penamaan dan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa masuk ke SMK berbasis infrastruktur adalah menjadi "Tukang bangunan". 

Hal ini bukannya tanpa alasan, karena SMK berbasis infrastruktur hari ini dinamakan oleh KEMDIKBUD sebagai SMK Bangunan, bahkan program studi di LPTK nya pun bernama S1 Pendidikan Teknik Bangunan, wajar kiranya masyarakat beranggapan bahwa masuk persepsi masyarakat yang terbangun memasuki SMK berbasis Infrastruktur menjadi tukang bangunan. 

Bahkan dampak yang lebih lanjutnya adalah, jika ingin menjadi tukang bangunan mengapa harus sekolah tinggi-tinggi? Seperti demikianlah hasil penelitian pendahuluan yang didapat dari survei terhadap orang tua siswa dan siswa SMP kelas IX di beberapa kotamadya di DKI Jakarta, di sisi lain peminat untuk menjadi "pasukan oranye" dan "pasukan biru" sangat melimpah. 

Padahal seperti telah diketahui, tugas kedua "pasukan" itu adalah melakukan perbaikan drainase dan jalan raya yang jelas-jelas itu bidang pekerjaan SMK berbasis infrastruktur. Oleh sebab itu, perlu diadakan perbaikan nomenklatur penamaan SMK berbasis infrastruktur menjadi SMK Rekayasa Infrastruktur (SMK RI) begitu pun di LPTK nya sesuai dengan KKNI berubah nama menjadi S1 Pendidikan Rekayasa Infrastruktur.

Ketersediaan lahan pekerjaan untuk SMK berbasis infrastruktur dan guru yang kompeten untuk SMK berbasis infrastruktur pada dasarnya sangat berlimpah. Namun demikian, justru lulusan SMK dengan kompetensi di bidang infrastruktur yang minim. 

Tidak kurang 30 proyek besar di bidang infrastruktur hingga tahun 2019 akan berjalan, 12 LPTK yang memiliki S1 Pendidikan Rekayasa Infrastruktur/Teknik Bangunan siap memasok guru yang kompeten, tapi dari sekian banyak proyek, lulusan SMK dan guru terdapat missing link  justru di sektor SMK sebagai pemasok tenaga kerja teknis bidang infrastruktur yang hanya berjumlah 568 SMK negeri dan 311 SMK swasta di seluruh Indonesia (34 provinsi, 514 kab/kota), itupun sebagian besar SMK swasta sudah hampir tutup dan di SMK Negeri hanya membuka kompetensi keahlian gambar bangunan (arsitektur) dan perkayuan.  

Bandingkan dengan jumlah SMK bidang bisnis manajemen yang mencapai 1410 SMK Negeri dan 4361 SMK swasta di seluruh Indonesia (1:3), kesenjangan yang luar biasa belum lagi dengan jumlah SMA yang berjumlah tidak kurang dari 5.746 SMA negeri dan 4.493 SMA Swasta (1:10) . 

Fenomena ini seharusnya dapat ditanggapi dengan serius oleh pemerintah dengan pembangunan SMK-SMK berbasis Infrastruktur di wilayah kota besar seperti DKI, Medan, Surabaya dan wilayah terluar seperti Natuna, Kalimantan Utara, Maluku Utara dan Papua. Rasionalisasi jumlah SMK bidang infrastruktur dengan SMA harus segera dilaksanakan sebelum terlambat.

Jika ditinjau lebih dalam ke proses pembelajaran pada SMK, akan terlihat hal yang lebih mengkhawatirkan. Tercatat SMK-SMK yang berbasis infrastruktur yang berjumlah 7 SMK di DKI Jakarta saja sudah  tidak lagi membuka program studi atau kompetensi keahlian beton, baja maupun pemetaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun