Mohon tunggu...
Riyan Arthur
Riyan Arthur Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pendidik yang sedang belajar

Pendidik di salah satu sekolah di ibukota

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembangunan SMK Berbasis Infrastruktur Berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2016

29 Juni 2019   01:30 Diperbarui: 2 Juli 2019   03:08 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seperti telah diketahui, bahwa pada era MEA ini peran sertifikasi dan Badan sertifikasi Profesi sangatlah penting. Di setiap lini pekerjaan selalu dikaitkan dengan standarisasi kompetensi yang disertifikasi oleh badan atau lembaga tersebut. 

Di sisi lain pekerja bidang teknis Indonesia yang umumnya berasal dari SMK dan sektor Informal masih banyak yang belum memiliki sertifikasi. Jika ditinjau lebih jauh lagi dari kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Tenaga Kerja masing-masing memiliki lembaga sertifikasi yang belum terlihat jelas "kavling" atau domain kerjanya. 

Di sisi Kemdikbud ada Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) dan di sisi Kemnaker ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Hal ini perlu diperjelas seraya memberikan suatu wewenang yang terukur dan transparan.

Kejelasan akan wewenang dan tanggung jawab kedua belah pihak pada ranah kompetensi dari bidang kejuruan atau Vokasi selayaknya menjadi tanggung jawab bersama setelah keluarnya INPRES No.9 tahun 2016 ini. Ke depan tidak boleh lagi ada kesimpangsiuran terhadap pekerja teknis yang berasal dari SMK maupun tenaga informal. Hal ini akan berdampak luas manakala tenaga kerja Indonesia harus berhadapan secara langsung dengan tenaga kerja asing.

Khusus untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ada 6 (enam) poin yang diinstruksikan, yaitu:

  • Membuat peta jalan pengembangan SMK;
  • Menyempurnakan  dan  menyelaraskan   kurikulum SMK dengan kompetensi  sesuai  kebutuhan pengguna  lulusan  (link and match);
  • Meningkatkan jumlah dan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan SMK;
  • Meningkatkan kerja sama dengan Kementerian / Lembaga, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha/ industri;
  • Meningkatkan akses sertifikasi lulusan SMK dan akreditasi SMK; dan
  • Membentuk Kelompok Kerja Pengembangan SMK.

Pada INPRES tersebut terlihat jelas bahwa SMK yang ada di Indonesia dan kebutuhan akan kompetensi yang ada di dunia industri masih tertinggal. Hal ini dapat dibuktikan dengan nomenklatur Kemdikbud (di Dapodik SMK) yang sama sekali kurang mengakomodir kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan. 

Sedangkan di tingkatan provinsi, kebanyakan Gubernur dan kepala daerah di tingkat kabupaten/Kota masih menitikberatkan perkembangan SMK yang berbasis bisnis dan manajemen. Hal ini menunjukkan, kesadaran akan pentingnya SMK berbasis Infrastruktur dan pembangunan daerah masih sangat rendah.

Untuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (melalui LPTK) diinstruksikan untuk:

  • Mempercepat penyediaan guru kejuruan SMK melalui pendidikan, penyetaraan, dan pengakuan; dan
  • Mengembangkan  program  studi  di  Perguruan Tinggi untuk menghasilkan guru kejuruan yang dibutuhkan SMK

Pada instruksi tersebut jelas terlihat bahwa, kurang variatifnya program studi di lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) mengakibatkan kurang variatifnya pula kompetensi keahlian lulusan SMK. Jika dikaitkan dengan perkembangan infrastruktur dewasa ini paling tidak dibutuhkan SMK di bidang; Teknik Jalan Raya, Teknik Pembangunan Dermaga, Rekayasa (Teknik) Transportasi dan Teknik Drainase Perkotaan. 

Namun demikian, bukan hanya pembangunan kompetensi keahlian SMK baru yang semestinya menjadi titik berat, tapi juga menumbuhkan minat masyarakat terutama lulusan SMP/SLTP untuk memasuki SMK yang berbasis infrastruktur dalam mengisi kekurangan tenaga kerja teknis maupun operator yang harus ditingkatkan melalui perubahan nomenklatur Kemdikbud.

Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada beberapa masalah yang muncul, yaitu:

  • Minimnya jumlah SMK berbasis Infrastruktur yang mengakibatkan minim juga lulusan SMK bidang tersebut sehingga mengakibatkan lambannya pengerjaan proyek Infrastruktur di mana program ini menjadi program utama Presiden RI. Kondisi ini mengakibatkan masuknya tenaga kerja asing karena kebutuhan akan tenaga kerja di bidang infrastruktur yang terstandarkan (sertifikasi).
  • Peta jalan SMK bidang Rekayasa Infrastruktur terhambat dengan Nomenklatur Kemdikbud baik di tataran SMK, LPTK maupun LSP, yang mengakibatkan persepsi kepada SMK Teknik Rekayasa Infrastruktur menjadi sangat sumir.
  • Link and match masih terjadi antara SMK dengan dunia industri hal ini disebabkan oleh kurikulum yang kurang progresif menyikapi perkembangan dunia ketenagakerjaan.
  • Sarana dan prasarana SMK Teknik Rekayasa Infrastruktur yang masih lemah, terutama di sektor bengkel kerja (workshop)
  • Bidang keahlian yang spesifik tentunya akan membantu para lulusan dalam menerapkan keilmuannya di lapangan kerja.
  • Contoh yang paling jelas adalah ketika wilayah Indonesia yang 2/3-nya adalah laut, namun kompetensi keahlian yang mencakup bidang tersebut sangatlah sedikit bahkan cenderung bias. Tidak ditemukan dalam nomenklatur, kurikulum maupun spektrum SMK dari mulai tahun 2006 hingga kini tentang kompetensi keahlian dermaga, teknik maupun transportasi laut dan sungai serta kompetensi khusus yang membidangi perkapalan. 
  • Spesifikasi kompetensi keahlian dari lulusan SMK juga akan mengakibatkan terbuka luasnya lapangan kerja baru yang seperti diketahui belakangan ini pengangguran masih dalam taraf yang bisa dikatakan besar. 
  • Namun demikian, dalam pembangunan SMK dengan kompetensi keahlian yang spesifik ini tentunya akan terkendala dengan berbagai hal. Beberapa kendala yang tentunya akan mengikuti adalah permasalahan infrastruktur sekolah, bengkel kerja dan juga kesiapan guru. Oleh karena itu, khusus untuk SMK pada dasarnya bisa dilakukan sinergi rumpun kompetensi keahlian di LPTK sebagai penghasil tenaga pendidik dan kependidikan, juga dapat dengan melakukan percepatan pembukaan program studi baru yang melingkupi kompetensi keahlian tersebut secara paralel. 
  • Selain itu, untuk infrastruktur sekolah dan bengkel kerja pada dasarnya dapat menggunakan sekolah yang sudah ada, tapi kompetensi keahlian yang sekarang ada sudah akan mencapai titik jenuh. Reposisi dan reorientasi SMK yang tadinya berbasis pada bisnis dan manajemen yang hari ini sudah sangat jenuh harusnya juga mulai dipikirkan dan ditinjau ulang keberadaannya serta digantikan dengan SMK yang memang sangat dibutuhkan daerah.
  • Hal tersebut di atas juga terkait erat dengan permasalahan yang muncul pada pendahuluan. Kurangnya SMK berbasis infrastruktur, ternyata berimbas pada lambannya pembangunan gedung-gedung sekolah, jalan raya bahkan dermaga-dermaga perintis. 
  • Hal ini juga bukan semata karena kurangnya jumlah dan peminatnya tapi juga terkait dengan masih belum spesifiknya kompetensi keahlian dari lulusan SMK, daya saingnya rendah dan terlalu banyaknya SMK dengan kompetensi keahlian yang jumlah lulusannya sudah jenuh. 
  • Solusi dari hal tersebut adalah mengintegrasikan antara dunia industri dan SMK dalam satu lingkup MOU atau kerja sama. Hal ini sangat relevan dengan INPRES No. 6 tahun 2016. Bisa dengan jalan membuka SMK baru yang berbasis kebutuhan di dekat Industri atau menggunakan lahan fasilitas umum atau fasilitas Sosial yang dimiliki Industri sebagai bengkel kerja untuk meningkatkan kompetensi dan juga daya saing lulusan.
  • Selain itu, harus sudah dimulai reposisi dan reorientasi arah SMK ke depan. Kompetensi keahlian yang lulusannya sudah jenuh selayaknya dikurangi jatah pembukaan kelasnya dan dialihkan kepada kompetensi keahlian yang jelas sangat dibutuhkan. Seperti DKI, Banten, Jawa Barat, dan daerah 3T yang sangat membutuhkan kompetensi keahlian bidang rekayasa infrastruktur sudah selayaknya diberikan porsi yang lebih banyak.
  • Akan sangat mengherankan ketika daerah-daerah tersebut ingin membenahi sungai, dan dermaganya tapi tidak memiliki tenaga teknis dan operator bidang tersebut. Dapat dibayangkan taman-taman kota yang dibangun dengan sangat indah tapi tidak memiliki tenaga kerja yang mumpuni dalam menatanya atau di daerah 3T yang sangat membutuhkan tenaga kerja untuk membangun jalan penghubung, tapi perusahaan terpaksa mengambil tenaga kerja teknis dan operator dari pulau Jawa.
  • Penempatan lulusan S1 Pendidikan Teknik Rekayasa Infrastruktur/ Bangunan di daerah 3T dan perkotaan seraya mendirikan SMK berbasis Infrastruktur akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan penempatan bidang lain guna mendorong pembangunan yang merata. Selain Sarjana Pendidikan lulusan dari S1 pendidikan teknik rekayasa dapat bekerja sebagai tenaga ahli dan juga memiliki kemampuan mendidik tenaga teknis. 
  • Keuntungan yang diraih negara dalam penghematan dan percepatan pembangunan tentunya akan berkali lipat dibandingkan dengan melaksanakan teknis konvensional yang selama ini dilakukan.
  • Penempatan ini akan sangat besar bagi daerah-daerah tersebut, karena putra daerahnya sendiri yang akan membangun untuk daerahnya baik dengan dana desa maupun dana dari pembangunan infrastruktur. Pembangunan SMK pun tidak perlu memikirkan detail cara membangunnya, karena semenjak masuk kelas X dapat langsung dilibatkan dalam membangun sekolahnya sendiri dengan prinsip Learn by doing. 
  • Estimasi kasarnya jika dalam 1 tahun SMK tersebut menerima 1 kelas berisi 20 orang siswa, maka pada tahun kedua sudah akan terbangun 2 lokal gedung sekolah sebagai pembelajaran dan juga hasil karya siswa dengan dibimbing ahlinya yaitu Sarjana Pendidikan pada bidang Teknik dan Rekayasa Infrastruktur. 
  • Pada tahun kedua akan terbangun 6 lokal dan tahun ketiga 12 lokal dengan kompetensi 20 orang siswa yang siap terjun membangun daerahnya sendiri dan memiliki pengalaman dalam merekayasa infrastruktur gedung sekolah. Jika penempatannya di perkotaan, sudah barang tentu akan lebih mudah lagi karena proyek infrastruktur yang ada hari ini sangat banyak dan luar biasa jika siswa dapat diikutsertakan dalam rangka Praktik Kerja Lapangan. 
  • Belum lagi jika kota tersebut memiliki taman dan juga sungai-sungai yang rawan banjir seperti Jakarta dan Jawa Barat. Belum lagi jika dikaitkan dengan daerah yang memang infrastruktur jembatannya memprihatinkan seperti Banten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun