Mohon tunggu...
Riyadh Nur
Riyadh Nur Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Tulislah apa yang ada di pikiranmu, jangan dipikirkan apa yang akan kamu tulis. Tabik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kuasai Dakwah Digital, Santri Wajib Dibekali Wawasan Kebangsaan

22 Oktober 2019   08:23 Diperbarui: 22 Oktober 2019   11:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah (SPEAM)

Pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan. Di tahun 2018 lalu, berdasarkan hasil studi Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa dari 264 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 64 persen.

Survei ini melibatkan 5.900 sampel dengan margin of error 1,28 persen. Data lapangan ini diambil selama periode Maret hingga 14 April 2019. Dalam survei juga disebutkan, mayoritas yang mengakses dunia maya adalah masyarakat dengan rentang usia 15 hingga 19 tahun.

Dari data di atas, usia sekolah adalah golongan yang mendominasi penggunaan internet di Indonesia. Di sini, peran santri ditunggu dalam menyumbang konten positif, demi menjaga mereka dari pengaruh konten radikalis dan ekstremis.

Setidaknya, laporan dari Kemenkominfo, seperti yang dilansir sindonews.com menyebut banyak anak muda yang terpapar konten radikal. Untuk itu Kemenkominfo telah memblokir sedikitnya 11 ribu website berkonten radikalisme sejak tahun 2009. Selain itu, laporan Badan Intelejen Negara(BIN) mengatakan, anak dengan rentang usia 17-24 tahun rentan terpapar radikalisme.

Sementara itu, jumlah santri berdasarkan website pbsb.ditpdpontren.kemenag.go.id tercatat ada sekitar 25.938 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan jumlah santri sebanyak 3.962.700.

Jumlah ini sungguh fantastis, bayangkan jika hampir 4 juta santri membuat konten dakwah kreatif, menarik dan menampilkan wajah Islam yang ramah. Maka, ini bisa menjadi sebuah langkah preventif meluasnya konten radikalis di media sosial.

Pakar media sosial, sekaligus Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, selain dibekali ilmu agama, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan santri dalam memanfaatkan media digital sebagai sarana dakwah adalah dengan menambah wawasan kebangsaan. Hal ini dianggap penting, mengingat banyaknya corak keislaman di Indonesia.

Dengan demikian, santri akan dapat membuat konten sesuai dengan situasi keberagaman masyarakat Indonesia. Jika tidak, maka santri dikhawatirkan akan memproduksi konten hanya untuk kelompok islam tertentu dan rentan menimbulkan pergesekan di gress root.

"Kalau mereka tidak diberikan orientasi target audiens, mereka akan membuat konten-konten yang memang sebetulnya itu hanya segmen kepada kelompok Islam tertentu, dan ketika didengar oleh kelompok Islam yang lain, justru akan menimbulkan perdebatan," jelas Hariqo saat diwawancarai penulis.

Masih menurut Hariqo, untuk bersaing dengan komunitas lain, konten dakwah digital santri harus bisa membaca kebutuhan masyarakat. Tidak melulu membahas kajian berat yang kurang diminati dan sulit dipahami masyarakat awam.

"Ada yang nanya begitu, kalau kurban kambingnya begini, bagaimana? nanti kalau orang tua saya meninggal, warisnya bagaimana? itu tuh teknis-teknis seperti itu yang harus kita kuasai betul," jelas Hariqo.

Sementara itu, novelis sekaligus sineas Ahmad Fuadi menjelaskan, untuk mengemas dakwah digital menjadi lebih menarik, santri bisa mengkombinasikan
gambar, video, suara dan teks dengan gaya Bahasa dan karakter khas yang melekat pada diri seorang santri. Atau mendigitalkan kitab klasik dengan gaya anak muda. Ia merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh Gus Ulil Absar Abdallah yang merekam Syarah Kitab Ihya Ulumuddin melalui FB dan channel YouTubenya.

"Sebagai contoh Gus Ulil merekam Syarah Ihya melalui FB dan YouTubenya. Bahannya klasik, cara dan channelnya kekinian," papar Fuadi dalam
keterangan yang diterima penulis.

Salah satu ponpes yang telah memanfaatkan media digital adalah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ini terlihat dari channel YouTube pondok yang telah memiliki lebih dari 11 ribu subscriber. Begitu juga di akun Instagram ponpes yang telah mengantongi 49,7 ribu followers.

Selain Ponpes Tebuireng, ponpes lain yang telah memanfaatkan media digital sebagai media dakwah adalah Pondok Pesantren Darussalam, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ini terlihat dari channel YouTube mereka yang memuat berbagai kegiatan santri yang dikemas secara apik.

Kepala Sekolah SMA Pondok Pesantren Darussalam Tasikmalaya, Tonny Regal menjelaskan rahasia kesusksesan mereka mengelola media digital. Selain mendapat dukungan penuh pimpinan pondok, santri yang telah ditunjuk menggawangi dakwah digital juga diberi pelatihan ke pelbagai tempat.

"Untuk meningkatkan SDM multimedia, kita beberapakali mengikuti pelatihan. Baik di sekitar Tasikmalaya sampai pernah ke Unida Gontor," papar
Tonny.

Sebagai penutup, bagi ponpes yang belum bisa menyediakan sarana-prasana digital, pengamat literasi digital, Iskandar Zulkarnaen menyarakan agar budaya
tulis-menulis di kalangan santri dan asatidz lebih digencarkan. Selanjutnya, santri juga harus dibekali ilmu literasi digital dan diberi tahu baik dan buruk dunia dunia
digital.

"Mereka juga harus tahu sisi baik dan buruk dunia digital. Ajari mereka literasi digital. Baru setelah itu mereka siap dilepas untuk menghadapi dunia nyata," ungkap Iskandar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun