Mohon tunggu...
Rivando Siahaan
Rivando Siahaan Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Tampil sederhana dengan ketulusan,\r\nada untuk sebuah perubahan yang lebih baik dari hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Senja di Danau Itu...

18 Juni 2019   09:41 Diperbarui: 18 Juni 2019   09:47 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : foto pribadi

Tenangnya air danau membuat aku kembali reda dengan segala kemarahanku. Aku tau terkadang emosiku meledak-ledak dengan suara menggelegar namun tak pernah sekalipun baku hantam.  Yang mereka tau aku yang sesabar ini bila menunggu, dan setenang ini menghadapi berbagai masalah terus mengapa bisa meledak tanpa arah. 

Namun kembali tenang ketika mendengar suara riak-riak kecil air. Aku tau air itu mengalir ke tempat yang paling rendah namun tak pernah dia berkata kalau dia paling susah. 

Suatu saat dia akan berguna jika mengalami perputaran, perubahan cuaca yang akan turun menjadi hujan mengairi Setiap tanaman yang kering, membantu petani dalam kritisnya pengairan akibat kemarau panjang.

Saat itu aku berada di danau ini kira2 tepat sebelum matahari terbenam. Melihat langit biru dalam kilau warna jingga. Aku yang sedang duduk di pinggiran danau tepat di hadapan hutan bakau yang luas di sekitaran. Aku hirup perlahan segala udara sehingga masuk ke rongga. ku ulangi berkali-kali lalu ku teriakan "Aku Marah" , "Aku Kecewa".

Sambil memukul-mukul dada ku dan bertanya dalam hati. Dimanakah keadilan Tuhan?. Percuma saja aku tulus mencintai tapi dibalas dengan kecewa. Percuma saja aku memperjuangkan masa depan hubungan ini. 

Jikalau akhirnya dikhianati oleh perselingkuhan yang perlahan-lahan mematikan rasa, membangkitkan amarah, serta dendam bercampur luka. Ibarat luka yang engkau goreskan searah dibaluri asam cuka. Rasanya perih sekali.

Akhirnya aku pun lelah dengan  segala teriakanku, mulai memainkan batu dengan lemparan jitu. Lemparan yang biasa buat air-air itu membentuk gelombang kecil yang menari-nari. Aku pun kembali ke rumah setelah langit biru mulai meninggi tak perlahan pekatnya malam mulai menghampiri. 

Seperti biasa aku buat jejak-jejak aku taburi daun di Setiap tanah yang ku pijak. Ranting-ranting pohon ku belah-belah kecil ku tancapkan di Setiap sudut pohon yang ku temui. 

Terima kasih Tuhan buat semuanya. Apapun yang terjadi itu karena engkau baik. Engkau punya pertimbangan yang matang untuk Setiap apa yang kualami dan ku hadapi dengan lapang hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun