Mohon tunggu...
Rita Kum
Rita Kum Mohon Tunggu... Pramusaji - Pramusaji

Perempuang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Awas, Kekerasan Virtual Menular

19 Juni 2019   17:10 Diperbarui: 19 Juni 2019   20:04 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi penggemar film atau game apalagi film sains fiksi  pasti tahu tentang virtual reality (VR). Apalagi sekarang teknologi kian berkembang dan sensasi yang ada di film begitu mirip dengan kenyataan. Penggemar film ini amat menyukai karena hanya dengan menggunakan kacamata tertentu, kita akan merasakan sensasi tangan kita menggenggam sebuah pisau untuk menantang lawan berkelahi. Atau memilih senjata lain untuk dapat menggalahkannya pada jarak jauh.

Jika sampai adegan bergulat dengan pisau di genggaman siap mengalahkan lawan, kita akan merasai chemistry kemarahan dan ingin membunuh sang lawan. Dengan visual dan suara yang dihadirkan pada kita seakan sang lawan hanya beberapa sentimeter saja dengan muka kita. Suara degup jantung kita serasa seirama dengan film yang kita tonton itu. Pergulatan itu membawa sensasi luar biasa bagi sang penonton yang akan menikmati film itu sampai habis.

VR awalnya dipakai pihak tertentu sebagai hiburan. Dengan kemajuan teknologi beberapa orang menggunakannya sebagai katarsis, karena selalu menampilan konflik dan solusinya. Solusi yang ditawarkan biasanya disertai kekerasan. Karena teknologi yang ada dalam VR selalu diselaraskan dengan pemenuhan keinginan manusia yang mungkin saja sedang marah sedih dan ingin melampiaskan kemarahan kepada orang lain dengan memukul dll tapi secara imaginatif alias virtual. Dengan begitu dia terhindar dari tuduhan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Beberapa film malah menampilkan bagaimana seseorang membunuh orang lain dengan pelan-pelan. Adegan itu membuat banyak pihak hanyut ke dalamnya.

Bagi sebagian orang, VR atau game yang berbasis VR mungkin amat menyenangkan. Bagi kreatornya, VR juga semakin mengasyikkan karena film-film berbasis itu punya segmen tersendiri. Bisa mendatangkan jutaan dolar untuk film dan gaming. Jika dibuat berseri-seri maka keuntungan berlipat ada di depan mata. Dia juga magnet bagi jutaan remaja dan anak-anak yang amat menyukai sensasi yang mungkin tidak terpikirkan oleh mereka sebelumnya. Game genre first-person shooting merupakan salah satu segmen yang paling populer di industri gaming.

Sebenarnya sebagai hiburan, film dan gaming yang berbasis VR bukan tanpa resiko. Kekerasan yang kerap dipertotonkan di film dan gaming VR menstimulasi banyak panca indra manusia. Mata, telinga dan sensori lainnya. Stimuli-stimuli ini harus dikaji ulang oleh para ahli psikologi dan sensori.  Pada satu titik tertentu kajian itu harus sampai pada sampai batas apa dan berapa VR bisa masuk dalam ranah hiburan seperti film dan gaming.

Di Amerika situasi ini masih jadi perdebatan karena beberapa game yang berisi adegan penembakan justru dapat menenangkan seseorang. Sedangkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa game seperti itu justru mendorong seseorang melakukan kekerasan. Studi pernah menyebut bahwa pelajar yang memainkan game penuh kekerasan selama 15-20 menit sehari selama tiga hari berturut-turut dinilai punya kecenderungan agresif dibanding biasanya.

Psikolog  Craig Anderson dari Iowa State Univercity mengungkapkan bahwa adegan kekerasan yang dilihat diulang-ulang ditambah tidak adanya konsekwensi negatif jika kekerasan itu dilakukan (atau minim sanksi) maka akan mendorong seseorang lebih agresif. Ini terbukti pada para pelaku penembakan massal seperti Aaron Alexis (Washington Navy Yard, 2013, 12 meninggal), Adam Lanza (SD Sandy Hook, 2012, 26 meninggal), dan Anders Breivik (Norwegia, 2011, 8 meninggal). Semua  pelaku kekerasan ini seluruhnya adalah gamer obsesif.  Sehingga bisa disimpulkan bahwa kekerasan yang ada di dunia virtual seperti itu bisa menular di dunia nyata, karena dengan menggemari kekerasan tak heran seseorang bisa mengagungkan kekerasan dan berbuat itu dalam kesehariannya.

Karena itu hal-hal ini mungkin bisa menjadi concern kita bersama. Jika teroris seperti Imam Samudra, Amrozi dan Ali Fauzi dll terinspirasi meledakkan dua club di Bali yang penuh orang yang dianggap kafir oleh mereka karena pengalamannya ketika di Afganistan. Maka bisa saja terorisme hadir lagi di sekeliling kita setelah melihat film dan kecanduan game. Hanya karena terlalu terobsesi dengan film-film yang berkonten kekerasan. Karena itu waspadailah kekerasan vitual, karena itu bisa menular di alam nyata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun