Mohon tunggu...
Ristiyanti Pertiwi
Ristiyanti Pertiwi Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Pemerhati Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Benarkah Peningkatan Investasi akan Membuka Lapangan Pekerjaan?

18 Desember 2020   15:17 Diperbarui: 5 Januari 2021   17:59 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Dalam satu bulan terakhir, publik banyak disuguhi dengan dinamika pembahasan hingga pengesahan Omnibus Law yang diklaim pemerintah sebagai solusi atas permasalahan investasi dan ketenagakerjaan. Undang-undang ini sendiri disusun oleh pemerintah dengan tujuan utama untuk mempercantik iklim investasi dalam negeri dengan cara memangkas birokrasi sehingga investor tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam jangka panjang, investasi yang masuk diharapkan menjadi solusi atas rendahnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia sekaligus meningkatkan perekonomian nasional.

Secara umum, teori mengenai hubungan investasi dan pertumbuhan ekonomi ini banyak dibahas oleh ekonom klasik hingga modern. Ekonomi klasik secara garis besar memaparkan bahwa investasi yang dilakukan oleh perusahaan, baik swasta maupun BUMN, menjadi faktor penting yang mendorong ekonomi, di samping faktor lain seperti konsumsi rumah tangga, net ekspor, dan pengeluaran pemerintah. Lalu, apa parameter dari masing-masing faktor tersebut? 

Ekonom mengenal istilah pengganda (multiplier) yaitu koefisien atau angka yang dapat menjelaskan besarnya tambahan pendapatan nasional sebagai akibat dari adanya tambahan variabel tertentu dalam perekonomian. Khusus dalam variabel investasi, nilai pengganda disebut juga dengan marginal propensity to invest (MPI). MPI akan naik seiring dengan membaiknya iklim investasi pada suatu daerah atau negara. Sebaliknya, nilainya akan turun apabila suatu kawasan dianggap kurang menarik untuk diberi investasi.

Namun, perhitungan MPI juga dipengaruhi oleh variabel marginal propensity to consume (MPC) atau pengganda konsumsi dari sejumlah pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Dalam notasi matematika, jumlah dari MPI dan MPC sebuah entitas (individu atau unit yang lebih besar) harus bernilai sama dengan 1. Sebagai contoh, apabila kenaikan gaji sebesar Rp 10.000.000 meningkatkan investasi sebesar Rp 2.000.000, maka nilai MPI yang dimiliki entitas tersebut adalah 0,2. Sisa tambahan gaji tersebut akan dialihkan ke konsumsi, sehingga nilai MPC adalah 0,8. Perhitungan ini didasarkan pada asumsi ceteris paribus, atau faktor lain dianggap konstan.

Saat ini, status quo menunjukkan bahwa sangat mungkin bagi investor untuk menghadapi beberapa kendala dalam berbisnis dan berinvestasi di Indonesia. Perizinan dan birokrasi (red tapes) yang berbelit dinilai menjadi hambatan besar bagi masuknya investasi ke Indonesia. Termasuk juga proses investasi penting seperti Pendaftaran Perusahaan dan Izin Kerja, masih dirasa sulit untuk dilakukan. Dalam praktiknya, investor harus berinteraksi dengan banyak organisasi dan kementerian yang berbeda dalam proses menjalankan bisnis di Indonesia. Pemerintah sendiri telah mencoba menerapkan langkah-langkah untuk menyederhanakan proses birokrasi, seperti memperkenalkan sistem Online Single Submission pada 2018, tetapi bisnis masih memerlukan waktu beberapa minggu sebelum perusahaan mereka siap beroperasi.

Permasalahan lain seperti nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang tinggi membuat Indonesia semakin tertinggal dalam hal pertumbuhan ekonomi. ICOR merupakan acuan kebutuhan investasi untuk menghasilkan satu unit tambahan output. Rilis dari Kementerian Keuangan pada tahun 2020 menunjukkan nilai ICOR Indonesia berada di atas enam, artinya untuk menghasilkan satu output dibutuhkan capital lebih dari enam kali lipatnya sehingga menambah biaya bagi produsen. Nilai ini relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara yang berada pada rentang 3-4 saja.

Namun, apakah serta merta peningkatan investasi akan membuka lapangan kerja juga? Selain iklim investasi, tentunya saat ini pemerintah juga perlu lebih memperhatikan sektor ekonomi mana yang membutuhkan investasi besar. Sektor prioritas investasi ini sebaiknya berasal dari industri padat karya dengan penyerapan tenaga kerja yang besar juga. Apabila investasi masih difokuskan pada industri-industri yang padat modal, maka tujuan penyusunan Omnibus Law terkait ketenagakerjaan akan sulit dicapai.

Sayangnya, rilis data BPKM dalam empat tahun terakhir menunjukkan adanya tren menurun pada investasi industri manufaktur dibandingkan dengan investasi di sektor jasa. Di tahun 2016, investasi ke sektor manufaktur tercatat sebesar Rp 335,8 triliun. Jumlah ini terus menurun ke Rp 274,7 triliun dan Rp 222,3 triliun di tahun 2017 dan 2018. Selain itu, serapan tenaga kerja dari investasi juga dilaporkan mengalami penurunan. Pada tahun 2016, penyerapan tenaga kerja mencapai 1,39 juta orang. Namun, di tahun 2017 dan 2018, berturut-turut hanya ada 1,18 juta dan 959,5 ribu orang tenaga kerja yang terserap. Tren penurunan dari investasi industri manufaktur dan penyerapan tenaga kerja menjadi peringatan awal bagi pemerintah bahwa investasi banyak mengalir ke sektor-sektor yang tidak padat karya.

Argumentasi tersebut didukung juga dengan data dominasi investasi di sektor jasa. Pada tahun 2019, nilai investasi sektor ini mencapai Rp 465,4 triliun atau sekitar 57,5% dari seluruh investasi yang masuk di Indonesia. Industri manufaktur, di sisi lain, hanya menikmati Rp 215,9 triliun atau sekitar 26,7% dari total investasi. Ketimpangan aliran investasi ini semakin membuktikan bahwa sektor padat modal di Indonesia lebih menarik dibandingkan dengan sektor padat karya.

Penulis juga mencoba melakukan estimasi nilai pengganda (multiplier) tenaga kerja menggunakan data Tabel Input Output Nasional tahun 2010. Rata-rata multiplier tenaga kerja tertinggi berada pada sektor pertanian dengan nilai 0,0748. Artinya, setiap tambahan Rp 1 T investasi di sektor pertanian, maka rata-rata tenaga kerja di sektor tersebut akan tumbuh sebesar 0,07%. Nilai ini lebih tinggi daripada rata-rata multiplier tenaga kerja di sektor jasa yang mencapai 0,0511. Sektor industri, di sisi lain, rata-rata multipliernya terhitung sebesar 0,0144 saja. Anomali pada multiplier sektor industri ini ditenggarai oleh banyaknya subsektor industri yang digunakan dalam perhitungan dibandingkan dengan subsektor pertanian dan jasa. Subsektor industri mencapai 120 item, sedangkan pertanian dan jasa masing-masing sebesar 36 dan 29 item saja.

Berdasarkan teori, data, dan analisis tersebut, terdapat beberapa rekomendasi bagi pemerintah terkait peningkatan iklim investasi di Indonesia. Pertama, meningkatkan nilai ICOR di Indonesia sehingga lebih efisien. Bottleneck permasalahan ICOR berada pada kualitas Sumber Daya Manusia, sehingga PR pemerintah terkait peningkatan pendidikan, sarana kesehatan, dan pelatihan kerja menjadi penting untuk ditelaah lebih lanjut. Apabila ICOR meningkat, maka pemilik modal akan senang untuk menanamkan investasinya di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya. Pada akhirnya, manfaat penciptaan lapangan kerja akan lebih terasa juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun