Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lorosae | Bab 6 | Menyusuri Selatan

21 Januari 2019   01:32 Diperbarui: 21 Januari 2019   07:03 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lima puluh lima jam sudah keenam guru baru itu numpang istirahat di KCD. Tapi belum juga ada kabar kapan mereka akan dijemput ke lokasi tugas masing-masing. 

Terutama Ratih. Hatinya cemas. Kabarnya sekolah tempat Ratih mengajar nanti masih jauh, terpisah dari teman-temannya. Belum lagi ada kabar bahwa penduduk di bukit tidak seramah penduduk pantai. Semakin menambah kekhawatiran hatinya. 

Kembali terdengar ayam berkokok saat hari masih gelap. Pertanda malam telah berganti. Ratih, Nia, Kang Arya dan Bang Ahmad sudah bangun pagi sekali. Diawali sholat shubuh, bermunajat pada Ilahi. Dilanjutkan membaca beberapa lembar ayat suci. Menenangkan hati bersiap memulai hari. 

Ratih dan Nia mencari piring di halaman belakang. Beberapa piring kaca hadiah dari pembelian detergen. Orang-orang meletakkan piring-piring itu di sebuah gudang kecil. Banyak kayu dan bangku rusak di dalamnya. Piring-piring itu tersimpan rapi di dalam kardus mie, di bawah meja yang pakunya bisa dilepas, tapi tetap menancap. 

Ratih menimba air di sumur dan Nia mulai menggosok piring-piring itu dengan sabut kelapa yang sudah dibasahi cairan pencuci piring. 

Seorang Ba'i lewat, tersenyum, memperlihatkan gigi dan mulut merahnya, sambil mengangkat tangan kanan. 

"Terus!", begitu sapanya. 

Ratih dan Nia membalas senyum dan mempersilakan Ba'i tersebut meneruskan perjalanan. 

Kemudian, datang lagi seorang mama membawa dua buah jerigen yang dipanggul dengan satu kayu.

"Pagi, ibu!", sapa mama berambut keriting yang diikat karet gelang, sambil tersenyum lembut dan meletakkan dua jerigen dekat sumur. Mama itu menunggu Ratih selesai menimba. Giginya putih saat tersenyum, tak seperti yang lain. 

"Pagi.. ", balas Ratih dan Nia, pun dengan tersenyum ramah. Ratih menyerahkan tali timba kepada mama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun