Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kilometer 725

14 Oktober 2018   14:03 Diperbarui: 14 Oktober 2018   14:05 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada waktu saya mau kembali dari Blitar ke Surabaya, ada saran seorang rekan agar saya menggunakan jalur lewat Kediri dan langsung masuk jalan tol ke Surabaya. Meskipun rutenya memutar dibanding dengan jalur lewat Malang, saya mengikuti saran rekan tersebut. Dan ternyata benar, meskipun lebih jauh, tapi ternyata lebih cepat karena tidak terjebak kemacetan saat memasuki kota Malang dan menembus kepadatan lalulintas dari Malang sampai Surabaya.

Setelah melewati Kota Kediri dan jalan nasional Kediri-Kertosono yang lurus dan sepi, kami memasuki gerbang tol Bandar, dan mobil meluncur mulus di jalan tol yang baru tersebut. Dengan pemandangan hamparan sawah dan ladang yang memikat sepanjang jalan tol yang lurus dan landai, kami benar-benar menikmati perjalanan hari itu.

Melewati rest area menjelang gerbang tol ke arah  Mojokerto saya agak tertegun mengamati tanda kilometer di jalan tol tersebut. Tanda kilometer itu menunjukkan angka 725, jadi saya berada 725 km dari titik nol, jadi titik nol-nya dimana? Setelah berfikir sejenak, saya baru sadar bahwa jalan tol ini menggunakan jarak dari titik nol yang berada di Jakarta, karena jarak Jakarta - Mojokerto, menurut peta adalah sekitar 750-an km, dan titik nol jalan tol di Jakarta terletak di Cawang. Jadi para pengatur dan pengelola jalan tol tersebut sudah menggunakan tanda kilometer dengan titik nol di Cawang, sebelum keseluruhan jalan tol Jakarta-Surabaya tersambung.

Pembangunan jalan tol Jakarta - Surabaya yang sedang berlangsung saat ini mengingatkan Penulis pada Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan pada abad sembilan belas yang lalu. Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan-angan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer di Banten hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa, hampir 1000 km jaraknya, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. 

Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, kejam dan tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan pada tahun 1808 hanya dalam waktu setahun saja (Wikipedia).

Berbeda dengan Jalan Raya Pos, jalan tol dibangun secara bertahap, meneruskan jalan tol yang sudah ada, mulai dari ruas Jakarta - Serang dan Jakarta - Cikampek yang dibangun masing-masing tahun 1978 dan 1984, diteruskan dengan ruas Cikampek - Palimanan (Cipali) sampai Pemalang, yang dilanjutkan sampai Semarang, kemudian Semarang - Solo - Sragen - Ngawi - Kertosono - Mojokerto sampai Surabaya yang sebagiannya sedang dalam tahap pembangunan dan penyelesaian.  

Pemerintah saat ini memang sedang menggenjot pembangunan infrastruktur termasuk jalan tol dan menargetkan jalan tol Jakarta -- Surabaya selesai akhir 2018. Ini termasuk prestasi yang membanggakan karena baru empat tahun terakhir ini pembangunan jalan tol dilakukan di hampir semua tempat di Indonesia, termasuk di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, upaya yang patut diapresiasi.

Jalan tol atau jalan berbayar, sesuai namanya, adalah jalan yang bisa diakses dengan membayar sejumlah nilai tertentu pada gerbang tol. Pada awalnya, jalan yang sering disebut jalan bebas hambatan tersebut tidak lepas dari kritik. Ada yang berpendapat bahwa jalan adalah prasarana publik yang seharusnya bisa diakses oleh semua orang, tanpa kecuali, alias tidak bayar. 

Tapi dengan nilai investasi yang tinggi, serta untuk mempercepat pembangunan jalan tol di tempat lain, pengguna jalan tol harus bayar. Mudah-mudahan saja nanti, pada saat modal sudah kembali, jalan bebas hambatan itu dibebaskan dari membayar.

Istilah jalan bebas hambatan pun dianggap kurang tepat, karena apabila ada gangguan lalulintas, misalnya ada tabrakan, maka jalan tol tidak lagi bebas hambatan.  Dengan semakin meningkatnya volume lalulintas, jalan tol bahkan tidak luput dari kemacetan. Dengan alasan tersebut sekarang dibangun jalan tol bertingkat seperti pada ruas Jakarta -- Cikampek, yang pembangunannya sedang berlangsung saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun