Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tumpukan tengkorak di Killing Fields

21 November 2009   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perjalanan ke Hanoi di Vietnam dan Phnom Penh di Kamboja merupakan perjalananku yang pertama di negara-negara sosialis di Asia Tenggara, karena negara-negara Asia Tenggara lainnya yang sudah aku kunjungi seperti Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand, semuanya adalah negara yang menganut system liberal. Kedua negara tersebut baru bangkit dari perang saudara yang berlarut-larut, dimana AS ikut terlibat didalamnya. Vietnam merupakan negara pemenang perang melawan Amerika. Prestasi yang mencengangkan mengingat AS, sebuah negara super power, kalah perang melawan Viet-cong yang bersenjatakan apa adanya. Sekarang Vietnam sedang bangkit mengikuti kebangkitan raksasa Cina, negara tetangganya di bagian utara.

Pesawat SQ176 yang membawaku dari Singapura mendarat mulus pukul di bandara Hanoi sekitar pukul 12.00 hari Rabu, 25 Februari 2009, setelah terbang selama tiga jam. Setelah melalui imigrasi yang cukup lancar (berkunjung ke Vietnam tidak perlu visa), kami, rombongan berlima menggunakan taksi SUV yang kami pesan di travel counter dengan biaya 500,000 VND (Vietnam Dong, 1 VND = US$17,282). Rombongan kami terdiri dari Pak Jos, walikota Payakumbuh, Pak Mus, Kepala Dinas PU Payakumbuh, Ibu Kati mewakil Dep PU dan Pak Alizar yang mewakil ESP-USAID. Kami berangkat ke Hanoi dalam rangka memenuhi undangan InWent, organisasi pemerintah Jerman dalam perkuatan SDM, untuk menjadi nara sumber dalam Sustainable Urban Development Forum, suatu Forum yang membahas masalah sanitasi dan limbah perkotaan di Vietnam.

Perjalanan dari bandara ke kota Hanoi disuguhi pemandangan yang tidak terlalu asing, hamparan sawah diselingi tanah-tanah kosong dan perumahan, serasa mengunjungi salah satu kota di Indonesia. Suasana kota Hanoi tidak jauh dari perkiraan, kota yang ramai dengan motor dan sepeda dan mobil-mobil baru dan lama, semua memenuhi jalanan dengan klakson yang memekakkan telinga. Bangunan tinggi masih belum banyak terlihat. Memasuki Hotel Hanoi Horison, kami merasa tidak berada di luar negeri, apalagi TV di kamar menampilkan saluran Metro TV dan TVRI.

Keliling kota dengan taksi sewaktu mengunjungi kantor Bank Dunia, aku melewati Mausoleum Ho Chi Minh (Paman Ho) dan patung Lenin. Semuanya mengingatkan aku sewaktu aku menunjungi Moskow lebih dari 20 tahun yang lalu. Hanoi memiliki banyak danau yang bersih, demikian pula sungainya bersih dan bebas dari sampah. Hoan Kiem adalah salah satu danau yang terletak di pusat kota. Di tengahnya ada pagoda sedangkan di didekatnya terletak katedral dan masjid, satu-satunya masjid di kota Hanoi.

Seminar berjalan lancar dan aku banyak ketemu dengan kawan-kawan lamaku ekspatriat yang saat ini banyak bekerja di Vietnam. Bahkan teman Amerika-ku yang pernah tinggal lama di Bandung menyapaku dengan ucapan :”kumaha damang?”Para ekspatriat tersebut banyak yang meninggalkan Indonesia karena kurangnya pekerjaan infrastruktur di Indonesia.Malam kedua kami diundang makan malam di rumah kediaman duta besar Jerman untuk Vietnam. Rumah bergaya Perancis itu menampilkan keanggunannya dengan hiasan lampu obor di halaman dan pohon-pohon pisang yang sengaja dipotong dan ditaruh di halaman depan. Bangunan di Hanoi memang banyak yang bergaya Perancis, karena negara ini pernah dijajah Perancis. Bahkan gedung operanya mirip dengan opera house yang ada di Paris. Meskipun pernah dijajah Perancis, generasi muda Vietnam yang aku temui tidak ada yang bisa bahasa Perancis, sementara Bahasa Inggeris mereka masih terpatah-patah. Pulang makan malam, di lobi hotel kami disuguhi permainan biola gadis-gadis Vietnam dalam orkes kamar yang memainkan The Four Season dari Vivaldi. Suguhan yang menghibur sebelum berangkat tidur.

Hari kedua, setelah acara penutupan, aku dan temanku menjelajahi kota Hanoi. Pertama kami naik taksi ke daerah sekitar danau Hoan Kiem. Danau yang terletak di tengah pusat kota tersebut seolah seperti sebuah oase. Taman-taman yang rindang dengan kursi-kursi yang dipasang di sepanjang tepian danau merupakan tempat yang nyaman untuk berjalan-jalan, apalagi di sore hari dimana banyak orang-orang yang berjalan-jalan, termasuk turis-turis asing yang berkeliaran dengan celana pendek, baju lekbong dan kamera ditangan. Banyak diantaranya yang mencoba naik becak. Kendaraan yang di Jakarta sudah dilarang itu banyak ditemui dijalan-jalan kota Hanoi yang sudah padat dengan sepeda, motor, mobil, pejalan kaki dan gadis-gadis muda bertopi petani yang berjualan dengan sayuran dan buah-buahan yang ditaruh dalam tanggungan.

Kami menyusuri jalan-jalan sempit sekitar danau yang dipenuhi toko-toko yang menjual cenderamata, dari pernik-pernik khas Vietnam dan Cina sampai barang antik, sutra dan perak serta mutiara, berjejer dengan toko cat, toko keramik dan bengkel! Lelah menyusuri jalan, aku dan temanku minum kopi sambil menikmati ramainya jalan di bawah yang riuh dengan suara klakson. Aku kira suara klakson di Jakarta kalah ramai dengan disini. Menjelang magrib kami pulang naik taksi. Tanpa curiga kami naik taksi yang ada di depan cafe, dan ternyata kami tertipu sopir taksi, yang memasang tarif argo kuda, kami harus membayar 400.000 Dong, untuk jarak yang ongkosnya biasanya cuma 50.000 Dong. Tidak ada gunanya kami berdebat, karena sopir taksi ngotot, dengan bahasa yang tidak kami mengerti, sambil menunjuk-nunjuk angka di argo. Kami cuma bisa mengelus dada, dan membayar dengan berat hati.

Mungkin aku menawar terlalu murah untuk sebuah karung mutiara untuk oleh-oleh bagi isteriku, fikirku. Atau aku merasa meremehkan portir hotel yang memperingatkanku untuk memakai taksi hotel sewaktu aku akan mengambil taksi lain di hotel, entahlah. Aku menganggap kejadian tersebut sebagai peringatan dari Tuhan, mungkin saja ada harta yang bukan milikku, dan Tuhan mengambilnya melalui sopir taksi tersebut. Malam itu aku berusaha tidur dan beristirahat setelah merelakannya.

Besoknya aku dan Pak Alizar bangun pagi-pagi untuk berangkat ke bandara. Hari ini kami berangkat ke Phnom Penh untuk mengunjungi produsen saringan keramik disana. Yang membedakan dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya, ini adalah kunjungan pribadi. Aku merencanakan memproduksi saringan keramik yang sama di tanah air, dan aku ingin mendapat informasi lebih jauh tentang saringan keramik ini. Kamboja termasuk maju dalam pengembangan saringan keramik, dan disini sudah ada dua LSM dari AS yang memproduksinya secara masal. Ternyata pesawat ke Phnom Penh transit di Vientiene, ibukota Laos, jadi aku secara tidak sengaja mampir di negara lain, meskipun cuma transit di bandaranya saja. Tiba di bandara Phnom Penh kira-kira jam 12 siang. Ternyata kami harus memiliki visa kunjungan turis dan kami mendapatkannya dengan membayar langsung US$20. Perjalanan ke kota berjalan lancar karena aku sudah pesan taksi sebelumnya. Dengan membayar US$12 kami sampai di keramaian kota Phnom Penh. Sebagaimana di Hanoi, transaksi di Phnom Penh dilakukan dengan mata uang dolar Amerika, sehingga kami tidak perlu repot-repot untuk menukar uang. Kota ini lebih sepi dibandingkan dengan Hanoi yang riuh rendah, tapi menjelang sore, jalan-jalan mulai dipenuhi berbagai jenis kendaraan. Phnom Penh mengingatkan aku akan kota-kota sedang di luar Jawa, tapi jalannya lebar-lebar dan lalulintasnya lengang. Tidak seperti Hanoi, di Phnom Penh tidak banyak ditemukan bangunan bergaya arsitektur Perancis, meskipun negara ini juga pernah dijajah oleh Perancis. Hotel Himawari, tempat kami menginap adalah sebuah hotel apartemen, yang memiliki fasilitas dapur dan ruang tamu yang cukup nyaman. Hotel ini terletak di tepi sungai Tonle Sap dengan pemandangan indah kearah Delta Sungai Mekong. Letaknya yang dekat dengan istana raja dan musium nasional menjadikan hotel ini pilihan yang tepat untuk menginap.

Sorenya, dengan diantar ibu Hilda, seorang teman lama dari UNICEF, aku berkeliling kota Phnom Penh. Mula-mula kami ke Pasar Rusia untuk berbelanja oleh-oleh. Kemudian melewati jembatan Jepang yang melintasi sungai Mekong (dinamai demikian karena dibangun dengan bantuan Jepang), istana kerajaan dan beberapa tempat menarik lainnya. Kamboja, negara yang pernah mengalami masa-masa kegelapan sewaktu terjadi genosida oleh Khmer Merah tersebut, perlahan tetapi pasti, mulai bangkit membangun kembali negaranya. Tapi yang jelas, banyak yang masih harus dibenahi: lalulintas yang tidak teratur, disiplin yang rendah, serta masih banyaknya penduduk yang miskin. Tapi kami sempat berpapasan dengan mobil mewah Bentley dan jip Hammer di jalan raya.

Di dalam pasar yang kondisinya tidak terlalu jauh berbeda dari pasar-pasar tradisional di kota-kota di Indonesia, kami mampir untuk minum jeruk peras dan kopi es, yang katanya paling enak se-Phnom Penh. Pembicaraan kami dalam bahasa Indonesia rupanya menarik perhatian sepasang suami isteri Belanda setengah tua, yang menyela pembicaraan kami dalam bahasa Indonesia yang fasih. Ternyata mereka pernah tinggal di Indonesia, isterinya bahkan orang Ambon tapi sudah lama meninggalkan Indonesia sehingga bahasa Indonesianya sudah tidak lancar lagi. Mereka sudah enam bulan di Phnom Penh, dan bekerja sukarela membantu dalam pengobatan untuk masyarakat yang kurang mampu. Di Kamboja banyak ditemukan lembaga atau perorangan asing yang membantu masyarakat miskin. Kami sempat melewati bangunan besar untuk pengobatan anak secara gratis, yang dibangun oleh salah satu negara maju di Eropah.

Menjelang malam kami ditraktir makan malam di restoran yang menyajikan sop sirip ikan paus sebagai sajian utamanya. Apakah memang benar-benar sirip ikan paus atau bukan, teman kamipun tidak yakin, yang jelas makanannya enak dan kami makan dengan lahap sampai habis. Setelah makan malam kami kembali diajak berkeliling kota melalui monumen pembebasan Perancis. Terimakasih Ibu Hilda, teman lamaku dari UNICEF yang telah berbaik hati mengantar kami.

Hari ini adalah hari minggu, kami tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengujungi onyek-obyek menarik di kota ini. Pertama kami mengunjungi suatu tempat di luar kota yang dikenal secara umum dengan nama Filling Field. Dengan menggunakan tuk-tuk dengan ongkos 20 dolar bolak balik, kami mengunjungi tempat ini. Pemandangan di sepanjang jalan tidak jauh dengan apa yang biasa kita lihat di kota-kota kita, lalulintas yang ramai dengan segala jenis kendaraan dan berbagai toko dengan segala kesibukannya. Yang menarik, kami menemui lebih dari lima acara perkawinan di rumah penduduk yang dihiasi berbagai ornamen pesta, yang menyita sebagian dari badan jalan. Pesta perkawinan juga kami dapati di hotel tempat kami menginap, selama dua malam berturut-turut!

Kami tiba di Killing Field, yang ternyata adalah lokasi tempat pembunuhan genosida yang dilakukan pasukan Khmer Merah, selama rezim yang dikepalai Pol Pot ini berkuasa pada tahun 1975-1979. Di bekas pembunuhan besar-besaran ini didirikan sebuah monumen yang berisi tumpukan tengkorak manusia. Disini rezim Pol Pot membunuh para cendekia, orang-orang kaya, pendeta Budha, laki-laki dan perempuan serta anak-anak, juga diplomat asing. Di beberapa tempat dipasang papan keterangan yang menunjukan bekas-bekas tempat penyiksaan dan interogasi, serta lubang-lubang yang menganga bekas kuburan masal mayat-mayat tanpa kepala. Di sebuah pohon ada bekas tempat pengeras suara yang mengeluarkan musik dengan keras untuk menutupi suara jeritan para tawanan. Di tempat lain ada tumpukan tulang anak-anak kecil yang disiksa sebelum dibunuh. Kami meninggalkan tempat ini dengan kesan mendalam, betapa seorang manusia bisa begitu kejam menyiksa dan membunuh sesama bangsa sendiri demi untuk memenangkan revolusi yang diperjuangkannya.

Sore harinya kami mengunjungi istana raja yang letaknya tidak jauh dari hotel, kembali dengan menggunakan tuk-tuk yang ongkosnya 8.000 Riel atau setara dengan 2 dolar. Istana ini berada dalam kompleks kerajaan, didirikan pertama kali tahun 1434, dan dibangun kembali tahun 1866-1870 oleh raja Norodom. Dalam bahasa Khmer istana ini sebelumnya disebut Preah Borom Reach Vang Chatomuk Mongkul, karena letaknya dekat dengan pertemuan empat sungai: Mekong Atas, Tonle Sap, Mekong Bawah dan Tonle Bassac. Di dalam kompleks istana, bangunan-bangunan yang ada dijadikan musium nasional yang menyimpan benda-benda berharga dan bersejarah. Di dalam kompleks istana ada bangunan yang arsitekturnya berbeda, bangunan tersebut, yang disebut The Pavillion of Napoleon III, mula-mula dibangun di Ismailia untuk Ratu Perancis Eugenie pada watku peresmian terusan Suez pada tahun 1869. Tahun 1876 Raja Napoleon III menghadiahkannya pada Raja Norodom dengan memindahkannya ke dalam kompleks istana. Gedung ini saat ini diisi oleh berbagai lukisan minyak dan foto dari raja-raja Kamboja terdahulu serta obyek-obyek seni lainnya. Di dalam kompleks istana ini juga ada replika Angor Wat, serta miniatur pengukuhan raja Kamboja yang saat ini berkuasa, yaitu Raja Norodom Sihamoni, yang merupakan bangunan musium yang paling baru.

Dari istana raja kami mengunjungi musium genosida Tuol Sleng, yang merupakan bekas penjara S.21. Penjara ini tadinya adalah gedung sekolah menengah yang digunakan oleh rezim Pol Pot untuk menyiksa tawanan. Memasuki ruang demi ruang yang terdiri dari tiga lantai ini suasananya cukup menyeramkan. Di tengah ruangan ada ranjang besi, di dinding tergantung foto berukuran besar memperlihatkan bagaimana tawanan terbujur kaku. Di halaman ada tiang yang sebelumnya adalah sarana olahraga, yang digunakan oleh rezim Pol Pot untuk menyiksa tawanan. Di ruang lainnya dipelihatkan foto-foto tawanan yang menjadi korban kekejaman rezim ini. Juga ada foto-foto kesaksian para korban yang selamat, serta pasukan Khmer Merah yang menawannya. Semuanya terpampang jelas dalam berbagai cerita dan penyajian benda-benda yang menjadi saksi bisu kekejaman genosida, suatu catatan sejarah hitam yang tidak akan mudah terlupakan oleh bangsa ini.

Kunjunganku ke pabrik saringan keramik milik RDI ini mendapat bantuan penuh dari kantor WSP. Jan-Willem Rosenboom, country team leader WSP untuk Kamboja meminjamkan kendaraan kantor untuk mengunjungi pabrik ini, terimakasih Jan-Willem. Pabrik ini terletak di luar kota, jalan masuknya terletak pada jalan raya menuju ke Ho Chi Minh City. Meskipun singkat, banyak yang bisa dilihat dan didapatkan dari kegiatan yang dilakukan oleh LSM dari AS ini. Mudah-mudahan apa yang aku dapatkan dari kunjungan ini berguna untuk menyempurnakan produk saringan keramik yang sedang aku usahakan. Kami agak terburu-buru karena mengejar pesawat kembali ke Hanoi, kami tiba kembali di Hanoi pada malam hari sebelum besoknya terbang ke Jakarta lewat Singapura.

Hanoi, 3 Maret 2009.

Jam 10.45 waktu Hanoi, sebelum menunggu taksi untuk berangkat ke bandara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun