Mohon tunggu...
Risma Wgt
Risma Wgt Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Berbagi wawasan, informasi, semangat, dan inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perspektif Masyarakat terhadap New Normal: Semakin Sadar atau Justru Melanggar

4 Agustus 2020   20:05 Diperbarui: 4 Agustus 2020   19:56 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Pandemi Covid-19 belum berakhir, bahkan kasus terkonfirmasi positif semakin lama semakin bertambah. Wabah ini berdampak signifikan terhadap  kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Berbagai himbauan dan kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah untuk menangani kondisi wabah yang sedang terjadi. Namun, kurva kasus tak juga melandai, bahkan malah meruncing. Hal ini menunjukkan masih terjadi penularan di masyarakat yang disebabkan oleh kurangnya  kedisiplinan dalam mematuhi protokol kesehatan. Berbagai kebijakan pemerintah memang digunakan untuk membatasi mobilitas dan aktivitas masyarakat di era pandemi. Namun, di sisi lain kehidupan masyarakat harus terus berjalan, terutama kegiatan ekonomi, perusahaan, pabrik, dan pelaku usaha lainnya. Jika tidak, maka dikhawatirkan dampak secara ekonomi akan semakin memperburuk keadaan. Karena faktor inilah, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru yang cukup mengejutkan. Kebijakan itu disebut new normal.

New normal, secara bahasa berarti normal baru, kini disebut adaptasi kebiasaan baru. Melalui kebijakan adaptasi kebiasaan baru, pemerintah mengimbau masyarakat untuk berdamai dengan keadaan, yaitu hidup berdampingan dengan covid-19 agar dapat melanjutkan kehidupan. Adaptasi kebiasaan baru merupakan babak baru dalam kehidupan masyarakat. Dimana masyarakat dapat melangsungkan kehidupan namun dengan kebiasaan dan kedisiplinan yang tinggi dalam mematuhi protokol kesehatan. Contohnya, ketika pabrik akan membuka kembali produksinya, maka harus mengatur mekanisme yang tepat sesuai protokol kesehatan yang ketat untuk meminimalisir penularan covid-19. Kemudian kegiatan masyarakat seperti aktivitas di pasar, terminal, bank, dan tempat-tempat umum lainnya, harus mematuhi dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Seperti mencuci tangan dengan sabun, memakai masker dan faceshield bila perlu, serta menjaga jarak minimal satu meter dengan orang-orang sekitar.

Adaptasi kebiasaan baru sempat menimbulkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, kebijakan ini dianggap terlalu dini. Sebab sebelumnya, telah ada Pembatasan Sosial Berskala Besar yang benar-benar membatasi ruang gerak dan mobilitas masyarakat. Kini muncul kebijakan New normal yang seakan-akan memberi kebebasan keapada masyarakat. Walaupun tetap dihimbau untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Sebagai contohnya, ketika nanti adaptasi kebiasaan baru benar-benar dimulai, maka transportasi publik kembali dibuka, pasar dibuka dengan leluasa, sekolah kemungkinan akan melayani secara offline, dan masih banyak kegiatan yang semula di batasi menjadi diberi kelonggaran tanpa adanya fase  transisi dari pembatasan ketat semula.

Argumen kontra terhadap new normal yang kini disebut adaptasi kebiasaan baru disampaikan oleh para tenaga media. Sebagian besar dari mereka terkejut ketika muncul kebijakan ini. Pasalnya, mereka khawatir jika kebijakan new normal akan memicu gelombang kenaikan jumlah pasien terkonfirmasi positif. Saat dilakukan PSBB saja, kasus masih terus meningkat, apalagi ketika diberi kelonggaran? Para tenaga medis pun masih bertanya-tanya apakah masyarakat sudah benar-benar siap menerapkan kebiasaan baru yang sesuai standar protokol kesehatan yang ketat? Dan bagaimana jika kasus terkonfirmasi positif mengalami kenaikan yang cukup signifikan saat diterapkannya new normal? Hal ini merupakan gambaran kekhawatiran para tenaga medis terhadap kebijakan baru yang hendak diterapkan pemerintah. Mereka juga menganggap perlunya masa transisi dari yang semula pembatasan sosial, menuju masa normal baru untuk menguji sejauh mana kesiapan dan kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sehingga, menurut tenaga medis, kebijakan normal baru harus ditinjau terlebih dahulu mengenai kesiapan dan keadaan masyarakat sebelum benar-benar diterapkan, agar tidak terjadi lonjakan kasus baru.

Selain argumen kontra, kebijakan new normal juga ditanggapi dengan argumen pro dari sebagian kelompok masyarakat. Bahkan, dengan adanya kebijakan ini, dianggap dapat memberi kelonggaran terhadap setiap aktivitas manusia. Tatanan normal baru dianggap sebagai solusi agar dapat hidup berdampingan dengan wabah yang tak kunjung berakhir. Karena jika terus menerus terkungkung dalam pembatasan, maka dikhawatirkan ekonomi rakyat kecil semakin sulit dengan pembatasan tersebut. Dengan adanya kebijakan normal baru, diharapkan ekonomi rakyat dapat berangsur-angsur pulih. Contohnya, pembukaan tempat wisata dengan pelaksanaan protokol kesehatan, pembukaan transportasi publik, pembukaan sekolah di zona tertentu, pembukaan aktivitas produksi pada pabrik, dan masih banyak lagi. Tentunya, dengan berbagai kebijakan baru ini dapat membuat aktivitas ekonomi berjalan kembali walaupun di tengah-tengah wabah dengan syarat pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat.

Tatanan new normal atau yang kini disebut adaptasi kebiasaan baru juga  berdampak pada kegiatan sosial kemasyarakatan. Sebagai contohnya, ketika saat pembatasan sosial marak dilakukan, para pemimpin daerah bahkan pada tingkat  desa/kelurahan, kepala desa mengeluarkan surat edaran yang berisi aturan pelarangan kegiatan kemasyarakatan dimana banyak orang berkumpul seperti, hajatan nikah/walimah, rombongan menjenguk orang sakit atau bayi, syukuran, tahlilan, dll.. Kini, semenjak muncul kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi, peraturan yang semula melarang secara mutlak, kemudian mulai dilonggarkan. Kelonggaran yang dimaksud ialah, boleh melakukan atau mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang diadakan, namun dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. 

Adaptasi kebiasaan baru ternyata menemui kendala di lapangan. Tidak heran jika terjadi ketimpangan antara teori dan praktiknya. Surat edaran, himbauan, anjuran, bahkan peraturan dari pemerintah yang memuat klausul-klausul atau teori pelaksanaan kegiatan saat pandemi memang lengkap dengan aturan protokol kesehatan secara ketat. Namun, kenyataan tidak selalu mulus dan sesuai harapan. Hal ini tidak lain disebabkan oleh pemahaman dan kesadaran masyarakat sendiri. Kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru memang menuntut masyarakat sebagai subjek utama dalam memutus rantai penyebaran virus corona dengan kepatuhan dan kedisiplinan dalam melaksanakan protokol kesehatan. Karena dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggilah, adaptasi kebiasaan baru dapat menekan angka penyebaran covid-19. Tetapi, kenyataanya tidak selalu seperti itu.

Adaptasi kebiasaan baru ternyata menimbulkan perspektif yang kurang ideal di tengah-tengah masyarakat. Meskipun tidak dapat dipungkiri masih banyak masyarakat yang patuh, disiplin, dan sadar.  Seharusnya, segala himbauan dalam adaptasi kebiasaan baru harus ditaati dengan benar agar dua sisi dapat berjalan dengan seimbang. Dua sisi ini yakni aktivitas masyarakat itu sendiri, dan upaya pencegahan penularan covid-19 di tengah-tengah masyarakat. Namun, kenyataannya masyarakat tidak semakin disiplin malah menganggap bahwa kebijakan normal baru benar-benar telah memberi kelonggaran. Sehingga, banyak di antara mereka yang melakukan kegiatan di luar rumah, kegiatan sosial kemasyarakatan, dan kegiatan lainnya dengan kurang memperhatikan protokol kesehatan dan kembali seperti era sebelum pandemi. Mereka beranggapan, kebijakan new normal telah membolehkan semua kegiatan yang seolah-olah  tidak sedang pandemi. Bahkan, ada masyarakat yang beraktivitas tanpa memperhatikan protokol kesehatan dengan alasan sudah ada kebijakan  new normal, sehingga tidak perlu lagi protokol kesehatan yang ketat seperti saat pembatasan sosial dilakukan. Tentunya hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran, pemahaman, dan kedisiplinan dalam mematuhi kebijakan adaptasi kebiasaan baru atau new normal. Sehingga tidak heran, perspektif inilah yang menjadi penyebab utama kebijakan ini sulit diterapkan secara ketat. Apalagi masih banyak warga yang tidak memperketat protokol kesehatan ketika berdekatan dengan saudara, tetangga, dan teman-teman mereka sendiri. Contohnya sangat sepele, misalnya dalam penggunaan masker. Kebanyakan dari masyarakat akan membuka masker ketika bertemu dengan teman, saudara, dan tetangga, padahal mereka tidak tahu apakah mereka benar-benar sehat, meskipun terlihat sehat.

Dengan berbagai paradoks di atas, kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai dapat menjadi solusi agar masyarakat dapat hidup berdampingan dengan wabah agar kehidupan dan kegiatan masyarakat dapat berjalan kembali. Namun, di sisi lain jika tidak diimbangi kedisiplinan dan kesadaran dalam mematuhi protokol kesehatan, maka dapat menjadi pemicu lonjakan gelombang kasus terkonfirmasi positif. Sehingga, perspektif masyarakat yang kurang tepat terhadap adapatasi kebiasaan baru harus segera dihilangkan. Masyarakat harus mematuhi protokol kesehatan dengan disiplin untuk memutus rantai penyebaran virus corona sekaligus melanjutkan kehidupan agar tetap berjalan dengan semestinya saat wabah masih berlangsung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun