Lantas dari pelbagai asumsi pendidikan di atas, apakah rancangan mulia pendidikan bangsa saat ini sudah terealisasikan? Tampaknya belum!
Hal ini karena pendidikan kita belum mencapai titik optimalisasi dan menjadi wahana humanisasi bagi anak didik. Pendidikan bukannya menjadi ruang menyemai humanisasi, malah menjadi wahana kekerasan dan ketidakmanusiawian anak didik.
Buktinya, banyak perundungan di satuan pendidikan. Beberapa kasus bahkan menyebabkan siswa meninggal dianiaya guru dan siswa mengalami kelumpuhan karena dikeroyok teman sebayanya.
Berdasarkan pemantauan media dan pengawasan perundungan di satuan pendidikan sepanjang 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 17 kasus kekerasan yang melibatkan peserta didik dan pendidik. Jumlah itu hanya yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Sementara, kekerasan juga terjadi di luar satuan pendidikan.
Selain maraknya tindak kekerasan, pendidikan kita juga dihadapkan pada fenomena degradasi moralitas. Contoh paling sederhana adalah hilangnya sikap penghormatan kepada orang yang lebih tua, tetap berkembangnya budaya mencontek, adanya sikap anarkis. Pada jam pelajaran, bukannya mengikuti kegiatan di kelas, justru ada yang nongkrong di kantin atau warnet. Hal tersebut tak selayaknya menjadi budaya bagi generasi bangsa.
Bangsa kita sepertinya telah kehilangan kearifan lokal. Kearifan yang menjadi ciri khas atau karakter suatu bangsa sejak berabad-abad. Tak heran jika pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju masyarakat yang memiliki moral, berbudi pekerti luhur, dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme, saat ini bisa diibaratkan ‘laksana kapal tanpa buku pedoman di tengah luasnya samudra.”
* Penulis adalah Tenaga Kependidikan di Salah Satu Sekolah Dasar Swasta Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan
Email : murdiantoriski@gmail.com