Mohon tunggu...
Riski Wicaksono
Riski Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - -

Urip Semeleh Lan Nrimo Ing Pandum

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nasib Buruh di Tengah Cengkraman Revolusi Industri 4.0

2 Mei 2019   14:23 Diperbarui: 29 Maret 2020   15:58 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia, pembicaraan terhadap nasib buruh selalu memiliki ruang tersendiri. Terlebih lagi, Indonesia dengan populasi penduduk yang cukup besar, namun hanya sekitar 3,1 persen penduduk produktif yang mampu bekerja secara mandiri. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sekitar 240 juta penduduk Indonesia masih menggantungkan nasibnya di pasar tenaga kerja.

Setidaknya terdapat beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Pertama, sejauh mana keberpihakkan pemerintah terhadap nasib buruh di Indonesia? Kedua, semakin gencarnya era digital dan otomasi (revolusi industri 4.0), lantas bagaimana peluang mereka?

Jika ditelaah lebih jauh, secara regulasi pemerintah  terus melakukan upaya perbaikkan sistem peraturan ketenagakerjaan di Indonesia. Mulai dari lahirnya UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merupakan landasan dasar dari peraturan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia. Kemudian, peraturan terkait penyelesaian perselisian hubungan industrial yang diatur dalam UU no 2 tahun 2004, serta Peraturan No 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja. Namun demikian, terlepas dari hadirnya peraturan-peraturan tersebut, persoalan buruh masih saja menjadi masalah yang terus mengakar dari masa ke masa pemerintahan.

Saya melihat ada beberapa poin yang patut dicermati terkait kondisi tersebut. Pertama, adanya inkonsistensi hukum, dimana pemerintah belum melakukan implementasi, sosialisasi dan pengawasan secara efektif di pasar tenaga kerja. sebagai contoh, masih banyak ditemukan perusahaan yang belum mampu memberikan upah secara layak dan persoalan ketentuan pemutusan kerja. Selain itu, seolah tugas pemerintah hanya sebagai regulator, dimana peran sosialisasi kebijakan dan pengawasan dilapangan belum berjalan secara konsisten.

Kedua, rendahnya tingkat pendidikan diduga berpengaruh terhadap munculnya persoalan yang dihadapi buruh di Indonesia. Hasil kajian BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia dengan pendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa saja. Dari beberapa jenjang pendidikan yang ada, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan Sekolah Dasar (SD) paling kecil diantara jenjang pendidikan lainnya, yaitu sekitar 2,43 persen. Dengan tingkatan pendidikan yang cenderung rendah maka hal ini berkorelasi positif terhadap minimnya akses informasi dan pengetahuan yang mereka dapat, sehingga memicu munculnya ketidakadilan bagi para buruh.

Kemudian, ketiga, rendahnya daya saing industri di Indonesia menjadi salah satu faktor yang juga berdampak terhadap para buruh atau tenaga kerja. Aliran modal mayoritas masih dikuasai oleh perusahaan dengan skala besar. Sayangnya, dari seluruh industri yang ada di Indonesia, 90 persen masih didominasi oleh jenis usaha skala mikro dan kecil. Industri dengan skala tersebut sebagian besar belum memiliki struktur organisasi yang kuat dan terkadang masih sangat kurang stabil dalam pengelolaan kinerja perusahaan. Sehingga hal tersebut akan rawan memicu sikap ketidakadilan perusahaan terhadap karyawan, seperti : PHK secara sepihak, penundaan gaji, dan belum adanya jaminan keselamatan kerja.

Pasar Tenaga kerja dan Revolusi Industri 4.0

Revolusi industri muncul sebagai dampak adanya pergeseran era digital dan teknologi informasi yang semakin masif. Setiap perusahaan berusaha agar tetap bisa sustain di pasar dengan melakukan berbagai upaya efisiensi pada sistem kerja. Nasib tenaga manusia tentu menjadi dampak dari hadirnya revolusi industri, dimana akan banyak industri yang cenderung menggunakan teknologi dalam proses produksi. Dari beberapa studi menjelaskan bahwa diperkirakkan 60 persen pekerjaan di dunia akan menggunakan otomasi.

Gencatan revolusi industri memang bakal menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi pasar tenaga kerja di Indonesia. Pasalnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sekitar 97 persen penduduk Indonesia mayoritas masih menggantungkan nasibnya di pasar tenaga kerja sebagai buruh. Kemudian, hal tersebut patut dicermati mengingat dalam 15 tahun mendatang yakni tahun 2020 hingga 2035 Indonesia akan menghadapi bonus demografi, dimana  Indonesia akan dibanjiri penduduk usia produktif. Ketika mayoritas industri mulai menerapkan otomasi dalam proses produksi, kemudian secara bersamaan banyaknya angkatan kerja, hal tersebut akan berdampak terhadap tidak terserapnya sebagian besar angkatan kerja.

Terdapat beberapa upaya penting dalam memperhatikan nasib buruh dan tenaga kerja Indonesia ditengah perkembangan revolusi industri ini. Pemerintah sebagai regulator perlu menyiapkan konsep pendidikan yang diarahkan pada kreatifitas, keahlian serta kemandirian. Langkah ini penting sebagai upaya meningkatkan kualitas penduduk Indonesia yang tidak hanya berorientasi untuk mengisi pasar tenaga kerja, akan tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja.

Lebih lanjut, upaya tersebut juga perlu didukung melalui kebijakan terkait kemudahan dan fasilitasi dalam usaha masyarakat. Sebagai contoh, kemudahan akses modal atau pendanaan usaha dan pendampingan kegiatan pelatihan wirausaha. sehingga upaya ini mampu memecah konsentrasi penduduk yang 90 persen lebih masih mengantungkan nasibnya di pasar tenaga kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun