Mohon tunggu...
riski amanda
riski amanda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kamu, dan Hujan

17 November 2018   11:17 Diperbarui: 17 November 2018   13:23 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua tahun yang lalu, malam ini adalah malam minggu. Waktu sakral bagi siapa saja yang mengaku pasangan. Kafe, restoran, alun-alun, pasar malam selalu ramai dipenuhi orang-orang yang bergandeng tangan. Termasuk aku bersama ika, temanku yang kucintai. Malam itu merupakan malam pertama kali kami jalan berdua. Malam istimewa pokoknya. Setelah tujuh bulan lamanya mengenal tapi belum berani nyaliku ini untuk mengungkapkan.

Sebetulnya tak ada tujuan ke mana kami pergi. Aku dengan motorku membawa Inef menyusuri jalanan kota. Melihat apa yang bisa dilihat. Termasuk melihat orang-orang berlarian menepi. Yang kusadari bahwa itu adalah gerimis yang semakin lama semakin deras. Tanganku memutar gas kencang, tanpa mengindahkan ritme yang ada. Tangan ika meyelinap ke dalam saku kanan kiri jaketku. Tanda bahwa ia seperti mengisyaratkan kedinginan. Sengaja aku tidak memberhentikan laju motor untuk sekedar berteduh. Aku perkenalkan pada ia bahwa hujan itu menyenangkan. Agar aku, ia, dan hujan suatu saat menceritakan momen ini dan menjadi alasan untuk dirindukan.

fi, kenapa tak berhenti. Hujan deras ini." Ucapnya tepat di telingaku. Waktu itu aku basah kuyup, pun kekasihku. Tapi inilah caraku agar pertemuan ini suatu saat bakal dirindukan.
"Tidak apa-apa ka, sesekali memang kita musti hujan-hujanan. Agar kita paham makna yang tersembunyi dalam hujan.
"Maksudnya .?
"Suatu saat kau paham sendiri.

Di tengah perjalanan, di suatu jalan yang sepi dan sunyi. Tiba-tiba motor yang melaju kencang itu tanpa kompromi memberhentikan dirinya sendiri.

"Kenapa fi .?  Ika heran.
"Sepertinya bocor.
"Sudah hujan, tambah bocor. Kasihan betul kita ini. Padahal ini kali pertama kita jalan berdua. Tapi sudahlah, meratap juga tidak akan memperbaiki keadaan. Ya sudah nam, kita dorong sama-sama.

Barangkali inilah yang disebut kesialan. Jalanan yang gelap, hujan beserta petir, dan ban bocor. Tapi barangkali juga inilah yang dinamakan cinta. Percakapan malam itu antara aku dan dia sewaktu mendorong motor. Seperti merumuskan kalau apapun yang berupa penderitaan, selama menghadapinya dengan cinta. Bukan lagi bernama derita.

"Ika... dunia seperti milik kita ya.
"Lho.. kok bisa.
"Hujan malam ini, motor bocor ini, membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan. Aku beruntung sekali malam ini. Sepertinya kau memang ditakdirkan untuk berlama-lama denganku. Dunia memang seperti milik kita" ucapku sambil terus mendorong.
"Iya fi, hujan malam ini mengajarkanku bahwa bahagia itu sederhana. Selama kita mampu melakukannya dengan cinta dan dengan orang yang tercinta."

(baca juga : Pengagum Bayangan)

"Apakah kamu bahagia sekarang.?
"Bahagia, memangnya kenapa ?
"Kalau kamu bahagia. Berarti aku memang orang tercinta bagimu. Iya kan.?
"Heh.. kata siapa. Ngarang kamu fi. pura-puranya tidak mengaku.
"Aku memang ngarang. Tapi coba tanya dirimu sendiri. Pasti membenarkan. Hehe
"Lho.. kok kamu tau fi. Kok pinter sih menebak isi hatiku. Aku tau ini, pasti kamu sudah berpengalaman kan. Tidak diragukan lagi.
"Siapa bilang sudah berpengalaman. Sekalipun tak pernah yang namanya alfi itu pacaran. Kecuali kalau kamu mau.:D
"Maksud mu..?
"Oh tidak tidak, maksudku kita sudah sampai di tempat tambal ban" pintarku mengalihkan perhatian.
"Alhamdulillah.. tidak kerasa ya. Ika bersyukur

"Aneh ya.. tidak kerasa. Padahal dari tadi aku pake perasaan lho ka.
"Maksudmu lagi..?
"Maksudku, malam ini dingin ya. pura pura mengalihkan pembicaraan.
"Hehehe... dingin saja ya. Tidak ada yang lain.?
"Sebenarnya ada sih. Tapi bukan sekarang. Tidak sabar ya.?
"Iya aku tidak sabar fi. Tidak sabar pingin pulang. Dingin banget ini.
"Ya sudah, pulang. tambal ban pun sudah selesai.
"Tapi.. bukan berarti semuanya selesai kan.?
"Haha... kode ini. Sudah sudah. Kita pulang.. hehe.

Itulah kisah aku, Ika, dan hujan.
Alasan kenapa aku selalu merindukan hujan. Barangkali ika juga. Karena setengah dari hujan adalah air, selebihnya kenangan. Dan aku, ika, serta hujan adalah sebuah kesatuan yang pas dengan komposisi yang tepat. Sebuah isyarat akan cinta sebenarnya.

Selesai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun