Mohon tunggu...
Riska Y. Imilda
Riska Y. Imilda Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

IG: riskayi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Hak Warga Negara, Bukan Kaum Kapitalis

7 Mei 2017   21:53 Diperbarui: 7 Mei 2017   22:06 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mencerdaskan kehidupan bangsa, kata tersebut mungkin sudah tidak asing lagi bagi setiap pasang telinga penduduk bangsa Indonesia.  Salahsatu tujuan yang dicantumkan dalam UUD 1945 setelah usai melanda penjajahan selama berabad-abad. Memperbaiki kehidupan bangsa melalui pendidikan itulah yang dimaksudkan visi suci negeri ini. Perjuangan menuju kemerdekaan yang hakiki tak terselesaikan sampai tiba negara mewujudkan ketenangan dan kemakmuran bagi rakyatnya.

Pendidikan bukan hanya sekedar formalitas semata. Melalui lembaga-lembaga yang dipercayakan, warga negara bernaung didalamnya untuk menerima pemahaman yang luas. Pendidikan sejatinya membangun sumber daya manusia bukan hanya untuk mengetahui tetapi dapat berperan dalam peradaban dan kemajuan bangsa. Keunggulan pendidikan akan mempengaruhi setiap permukaan dan palung terdalam di sebuah negara. Pendidikan tidak hanya penting, melainkan dibutuhkan disetiap unsur perubahan yang terjadi. Kualitas daya kemampuan suatu masyarakat akan ditentukan melalui pendidikan yang ditempuh.

Dunia pendidikan di Indonesia apa kabar? Seberapa besar masyarakat menyadari untuk menjalani proses yang cukup panjang. Apakah pendidikan hanya dibutuhkan sebagai tempat untuk menyetak lembaran-lembaran ijazah. Kekolotan pemikiran tentang anggapan bahwa tidak dengan pendidikan, asal memiliki kemampuan kita dapat hidup meracuni persepsi dasar masyarakat.

 Cukup mengandalkan otot, yah cukuplah sudah. Permasalahan inti bukan disini, jika kita melangkah mundur sedikit mengenang bapak pelopor pendidikan kita Ki Hajar Dewantara dan R.A Kartini dimana mereka memperjuangkan sampai akhir hayat agar pribumi nusantara ini mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Dahulu bertentang dengan penjajah akan prosesnya, setelah tiada penjajah ternyata Indonesia tetap rabun pendidikan.

Bila ditanya, mengapa hanya tamatan SD? Rutin sekali kata-kata yang keluar ialah “orangtua kami tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dapat makan saja sudah cukup” itu jawaban saat orangtua terdahulu jika ditanya soal pendidikan. Sekarang dunia serba maju, gedung-gedung memuncak ke langit, politik pun bergelut diperebutkan asal dengan pemikiran-pemikiran sang korup negeri ini. Namun, pendidikan masih saja menjadi permasalahan. Jangankan menempuh pendidikan tingkat universitas, jika SMA saja susah diselesaikan dengan biaya yang selangit. Gambaran terdahulu terbuka lagi begitu sulit mengenyam pendidikan yang dinegeri jauh dari kata kualitas. Pemerataan pendidikan yag terkadang tidak serata janji-janji mereka (saat pemilu).

Bukankah pendidikan telah dijelaskan dalam Bab 8 pasal 31 ayat 1 yang  berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Namun faktanya, orang-orang yang bermodal tinggi yang dapat meraih pendidikan tersebut. Sekolah-sekolah kampung pasti jauh berbeda fasilitas dengan sekolah-sekolah berstandar internasional di kota. 

Berbagai macam buku disediakan, pengajar yang terlatih dan teruji. Sekolah kampung sudah untung jika ada guru yang mengajar. Itu baru sedikit permukaan yang terlihat di pedalaman negeri ini. Tidak usah berkeluh kesah kita mencari contoh buruk pendidikan, di ibukota negara saja anak-anak yang tak bersekolah sengaja menggelandang di jalanan. Mereka diangkut pihak keamanan jika berkeliaran, setelah ditangkap tak ada tindak lanjutan dari pemerintah untuk mendidik dan membiayai mereka sampai menjadi manusia yang berkarakter.

Belum lagi penggemboran pendidikan gratis yang diberikan atau iming-imingan saat pemilu. Mulut manis mereka berseru, “Jika saya maju akan digratiskan semua biaya sampai ke perguruan tinggi” peserta kampanye bertepuk tangan menyambutnya. Riuh rendah tertawa dengan penuh percaya diri. Tahun pertama dan kedua dapat dikatakan ada yang merasakan janji itu, beasiswa diturunkan dan anak-anak perkotaan mempunyai akses yag terbilang ringan untuk mendapatkannya.

 Selang beberapa waktu, dana tak kunjung cair. Berbagai kartu-kartu untuk penjaminan pendidikan layak nya tak jelas, setiap warga mendapatkan kartu penanda namun tak dapat digunakan. Menumpuknya pemuda-pemudi yang ingin mendapatkan beasiswa, ternyata dana-danapun menggelembung diatas. Tak heran pejabat pendidikan berdiam diri di KPK. Mulai dari tenaga pendidik sampai sang pengatur pendidikan. Sangat mengiris hati bukan?

Padahal sudah dijelaskan pada pasal 31 ayat 4, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dana belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Berkaca dari penjelasan diatas, sudah sangat jelas biaya pendidikan diutamakan. Tapi, mengapa pendidikan tidak merata? Jika masih saja ada di anak-anak yang tidak sekolah. Merelakan diri menjadi buruh pabrik, karena terhambatnya biaya yang tinggi.

Pendidikan hak bagi warga negara. Pendidikan tidak hanya dimiliki oleh pihak kapitalis, orang yang memiliki uang banyak maka mereka dapat bersekolah. Jika prinsip itu masih ada, apa bedanya negeri ini pada masah sebelum merdeka. Bersekolah hanya diperuntukkan bagi anak-anak pejabat serta keturunan bangsawan saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun