Mohon tunggu...
Riska Fatma Meinarty
Riska Fatma Meinarty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wujud Inklusivitas Penyandang Disabilitas di Indonesia

4 Januari 2023   10:12 Diperbarui: 4 Januari 2023   10:21 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anggapan "nggak normal" atau "orang cacat" serta atensi berlebihan menunjukkan stigma masyarakat Indonesia terhadap penyandang disabilitas masih tinggi. Bahkan, masalah penyebutan “tuna rungu, tuna netra, atau tuna wicara” saja masih banyak yang keliru. Penyematan kata “tuna” ini merujuk pada kerusakan atau kekurangan yang identik dengan perasaan dikasihani. Padahal, manusia mana yang ingin dikasihani?, maka, penyebutan tersebut dapat diganti dan diseragamkan dengan kata disabilitas atau difabel.

Dari kondisi tersebut membuktikan, sistem perlindungan bagi penyandang disabilitas dianggap kalut. Tidak dapat dipungkiri, implementasi pemenuhan hak penyandang disabilitas juga dipertanyakan. Di mana letak keadilan sosial yang disematkan dalam dasar negara Pancasila ini?

Seruan inklusivitas jadi harga mati, tetapi aksesibilitas masih terbatas. Fasilitas penunjang bagi para difabel masih banyak yang kurang terpenuhi, terutama di wilayah daerah selain Ibukota. Meskipun peraturan UU No. 18/2016 tentang Penyandang Disabilitas telah hadir serta membuka kesempatan yang sama bagi para penyandang disabilitas dalam menyalurkan potensinya, baik sebagai bagian dari elemen masyarakat maupun negara. Namun, permainan otonomi daerah dalam perangkat aturan daerah, turut andil dalam ketidakmerataan fasilitas dan aksesibiltas bagi para disabilitas.

Literasi informasi tentang disabilitas juga kelihatannya masih molor di Indonesia. Masalah ragam disabilitas seperti; disabilitas fisik, disabilitas sensorik, disabilitas mental, dan disabilitas intelektual, masih belum banyak masyarakat pahami. Selain itu, pemerintah sebaiknya memerhatikan kebutuhan tiap ragam disabilitas tersebut dan mengimplementasikannya melalui fasilitas yang dapat menunjang mereka. Soal trotoar berlubang saja, masih banyak ditemukan padahal, dapat menghambat pengguna kursi roda dan disabilitas netra.

Tidak hanya masalah fasilitas, kecakapan petugas yang melayani pengguna layanan publik juga masih banyak yang tidak memahami penggunaan bahasa isyarat dasar. Apalagi, di masa Covid-19, masker menjadi atribut penting sebagai upaya mencegah penyebaran virus. Namun, penggunaan masker ini menjadi tantangan bagi penyandang tuli saat harus melihat gerak bibir lawan bicara. Dalam hal ini, penggunaan bahasa isyarat menjadi alternatifnya.

Sedangkan, saat ini masih banyak yang belum paham bahasa isyarat sehingga harus menghadirkan juru bicara bahasa isyarat. Sayangnya, amanat konstitusi tentang pelayanan bagi penyandang disabilitas masih terbatas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, seharusnya standar layanan ini juga diatur bagi petugas pelayanan publik agar inklusivitas lebih tercapai secara menyeluruh.

Sejak tahun 1980-2010, terdapat dua bahasa yang digunakan yakni bahasa oral (lisan) dan bahasa isyarat. Kedua bahasa ini mempunyai nilai yang setara, manusia bebas memilih dan nyaman menggunakan bahasa mana, atau menggunakan keduanya juga bukan hal yang dilarang. Namun, semakin tinggi stigma, rasanya bahasa isyarat seolah dikhususkan untuk berinteraksi dengan penyandang tuli.

Padahal, kategori disabilitas rungu beragam, umumnya dibagi menjadi dua yaitu, deaf dan hard of hearing, sama halnya dengan disabilitas netra; blind dan low vision. Bahasa isyarat sudah lekat dengan penyandang tuli (deaf) sedangkan, bahasa lisan dapat digunakan oleh penyandang hard of hearing dengan bantuan alat dengar. Oleh karena itu, tidak perlu ada paksaan untuk memilih bahasa yang akan digunakan, karena kebebasan merupakan hak setiap orang. Selain itu, akses bahasa isyarat di Indonesia sebaiknya dibuat lebih universal.

Nyatanya, manfaat program pemerintah belum dapat dirasakan langsung oleh semua kelompok rentan. Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang telah dibentuk sejak Desember 2021 ini menjadi jembatan antara para penyandang disabilitas dengan pemerintah. Fungsi Lembaga ini sudah jelas mengadvokasi peraturan yang disahkan Presiden, tetapi masalah sosialisasi pada masyarakat membutuhkan waktu dan proses yang tidak instan. Harapannya, KND tidak hanya mengadvokasi peraturan, tetapi juga mendengarkan feedback kebutuhan para penyandang disabilitas agar komunikasi berlangsung secara dua arah dan kebutuhan difabel terpenuhi dengan efektif.

Kehadiran KND juga diharapkan bisa membuka seluruh akses informasi tentang disabilitas agar masyarakat paham apa yang harus dilakukan saat berkomunikasi atau berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Prioritas pemahaman tentang disabilitas harus disosialisasikan dengan baik karena sampai saat ini, spektrum tentang cara berinteraksi dengan disabilitas masih sangat terbatas, seolah masyarakat belum siap dihadapkan dengan para difabel. 

Jika masyarakat dan pemerintah tidak memahami cara berinteraksi dan berkomunikasi, lalu bagaimana bisa menyediakan fasilitas yang sesuai dan memenuhi hak disabilitas? Saat semua elemen masyarakat sudah paham, secara otomatis layanan akses fasilitas ramah disabilitas dapat direalisasikan dengan baik sesuai kebutuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun