Banyak orang mengatakan bahwa tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun yang bersejarah bagi Indonesia. Di 2018 akan ada pemilihan kepala daerah secara serentak di 171 daerah di Indonesia. Sementara tahun 2019, Indonesia akan menggelar pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislative. Wajar jika banyak orang menyebut kedua tahun tersebut merupakan tahun politik.Â
Melalui kedua tahun tersebut, jika kita bisa melewatinya secara arif dan bijaksana, sistem demokrasi di Indonesia akan semakin dewasa. Namun jika kita melewatinya dengan cara-cara yang salah untuk bisa menduduki kursi kekuasaan, maka demokrasi di Indonesia akan semakin kerdil. Pilihannya ada di tangan kita sendiri.
Kini, pilkada serentak itu sudah di depan mata. Namun, perdebatan antar program di kalangan para pasangan calon justru terkesan sepi. Debat publik yang digelar beberapa waktu lalu, justru tidak begitu terdengar gaungnya. Publik justru diramaikan siapa capres yang layak bertarung di 2019, publik juga disibukkan siapa cawapres yang tepat untuk Jokowi ataupun Prabowo.Â
Dalam perdebatan tersebut, tak jarang politisi mulai saling nyinyir. Bahkan, para simpatisannya pun telah bergerilya menebar pesan kebencian di dunia maya. Informasi hoax, informasi yang tidak jelas kebenarannya, bahkan informasi yang mengandung kebencian kepada paslon tertentu, terus bermunculan seperti jamur di musim hujan. Pertanyaannya, ada dengan kita? Kenapa kita saling membenci?
Awalnya muncul pesan yang sifatnya saling mengkritisi. Dalam iklim demokrasi, kritik sangat dibutuhkan. Apalagi Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Karena itulah, berbeda pandangan menjadi hal yang wajar. Jika kebijakan pemerintah menimbulkan pro dan kontra, juga merupakan hal yang wajar.Â
Lalu, apa yang salah dibalik kritik tersebut? Jika kritik tersebut sudah disusupi unsur kebencian, hal tersebut sudah tidak benar. Karena saling membenci bukanlah budaya Indonesia. Seluruh budaya di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua, tidak ada satupun yang mengajarkan saling membenci. Justru semuanya mengajarkan saling menghormati antar sesama. Begitu juga dengan agama yang berkembang di masing-masing daerah di Indonesia, tidak ada satupun yang menganjurkan saling membenci. Lalu, kenapa ketika memasuki tahun politik, pesan kebencian itu terus meningkat?
Jika kebencian ini terus dipupuk, dikhawatirkan bisa berpotensi terjadinya konflik. Apalagi jika pesan kebencian itu secara sengaja, diselipkan unsur SARA, akan semakin memperlebar potensi konflik. Kita semestinya bisa belajar dari pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu, yang dipenuhi dengan ujaran kebencian. Akibatnya, masyarakat jadi gundah, masyarakat jadi mudah marah, dan masyarakat jadi mudah diombang-ambingkan dengan informasi yang menyesatkan. Ancaman perpecahan didepan mata, hanya karena kuatnya kebencian yang ada.
Mari kita sudahi semua ini. Jangan lagi ada kebencian di tahun politik. Mari kita belajar dari pengalaman masa lalu. Indonesia adalah negara damai, bukan negara yang dipenuhi dengan kebencian. Indonesia negara yang indah, bukan negara yang menyeramkan. Dan tahun politik semestinya bisa menjadi momentum untuk memilih pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab, bukan momentum untuk saling menjatuhkan dengan menebar kebencian. Mari kita introspeksi, demi Indonesia damai. Salam.