Semua orang berpendapat bahwa Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sudah final. Semua orang juga sepakat, Pancasila terbukti mampu menjadi pemersatu, di tengah keberagaman budaya di Indonesia. Lima sila yang masuk dalam Pancasila, merupakan nilai-nilai budaya yang berhasil digali oleh para pendiri bangsa ini. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawaran dan keadilan, pada dasarnya sudah ada ditengah masyarakat sebelum negeri ini berdiri.
Ironisnya, entah apa maksudnya, masih ada provokasi yang menyatakan garuda kafir. Provokasi semacam ini sempat terjadi di Universitas Diponegoro, Mei 2017 lalu. Poster tersebut akhirnya dilepas setelah sempat terpajang di ruang publik. Pihak universitas mengklaim sebagian mahasiswa tersebut, hanya merupakan bentuk provokasi, tidak ada niat menghina lambang negara. Diluar itu, provokasi kafir juga seringkali kita temuka di dunia maya dan kehidupan sehari-hari. Orang takut berbeda karena dianggap kafir. Bahkan berbeda agama pun dianggap kafir. Pertanyaannya, bukankah negeri ini mengakui banyak agama? Mari menjadi perenungan bersama.
Seorang anak yang lahir dari orang tua muslim, besar kemungkinan akan memeluk agama muslim, yang kebetulan menjadi mayoritas di Indonesia. Namun, bisa juga anak yang lain, lahir sebagai Kristen karena orang tuanya seorang nasrani. Kalau begini, apakah salah? Bukankah negeri ini menjamin setiap warga negara memilih dan memeluk agama berdasarkan keyakiannya masing-masing? Sekali lagi, mari kita berpikir logis. Jangan mudah terprovokasi. Begitu juga dengan yang lainnya, jangan mudah diprovokasi. Negeri ini perlu generasi yang cerdas, kreatif dan inovatif. Bukan generasi yang gemar memprovokasi dengan ujaran kebencian.
Mari kita kembali ke Pancasila. Dengan kembali ke Pancasila, tidak hanya menjalankan perintah agama, tapi juga mempertahankan nilai luhur budaya bangsa. Sila pertama mengajarkan kepada kita, untuk selalu mengingat Tuhan YME, yang menciptakan dunia ini. Tanpa berkah Tuhan YME, Indonesia tidak akan kaya akan keberagaman dan mampu meraih kemerdekaan. Dengan mengingat Tuhan, tentu juga harus menjalankan seluruh ajaran agama. Dan seluruh agama yang ada di Indonesia, tidak ada satupun yang mengajarkan kebencian dan kekerasan. Semuanya mengedepankan perdamaian.
Sila kedua mengajarkan kepada kita tentang kemanusiaan. Sesama manusia harus saling menghormat, saling menghargai dan saling tolong menolong. Tidak boleh kekerasan atas nama apapun. Juga tidak boleh membenci atas nama apapun. Karena sikap manusia, seharusnya adil dan beradab seperti yang tertuan dalam sila kedua. Dengan memanusiakan manusia, sinergi antar manusia bisa saling terjaga. Jika hal ini bisa dilakukan, maka persatuan yang disinggung dalam sila ketiga akan tercipta. Nilai-nilai budaya lokal juga mengedepankan persatuan dan kesatuan. Dengan persatuan ini pula, masyarakat Indonesia yang beragam itu berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Kini, Indonesia telah 72 tahun merdeka. Ujaran kebencian masih saja ada, provokasi kafir juga masih sering muncul. Mau sampai kapan perilaku negatif ini muncul? Mari kita pelihara perdamaian. Karena begitulah sejatinya kita. Sebagai makhluk sosial, kita harus saling mengenal dan tidak membutuhkan pertolongan orang lain. Karena Indonesia ini beragam, maka kita juga harus mengenal semua pihak yang ada di negeri ini. Karena Indonesia menganut semangat gotong royong, maka kita juga harus menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan. Tidak perlu lagi memandang mayoritas minoritas, tidak perlu lagi memandang perbedaan latar belakang. Saatnya, menghancurkan semua bibit kebencian yang masih ada. Karena Indonesia butuh generasi toleran, yang bisa menyebarkan paham kedamaian, bukan paham kekerasan.