Mohon tunggu...
Risdo Simangunsong
Risdo Simangunsong Mohon Tunggu... -

Lahir di Sumatera Utara, Menuntut ilmu dan mengejar panggilan hidup di kota Bandung. Laki-laki yang garing dan nyentrik, sesekali suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sehabis Tujuhbelasan

17 Agustus 2011   17:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang perempuan kecil menghampiriku, ia bertanya: “Masihkah Kakak bangga dengan Indonesia? Masihkah Kakak cinta Indonesia?” Tangan anak itu memegang merah-putih kecil, yang dipakai upacara tadi. Aku terdiam sejenak memandang wajahnya. Wajah itu penuh gundah dan sedih. Dalam benakku, aku bergulat tanya, akankah anak ini nanti bisa berdiri dengan kepala tegak di tengah teman sepergaulannya dari berbagai bangsa. Ataukah dia malu menyebut nama negeri yang hampir lebur diinjak-injak kebrengsekan ini. Aku mencoba menghiburnya dengan mencoba mengingatkannya akan sejarah agung peradaban di bumi Nusantara, tapi aku sadar segala kisah itu hanya akan membuainya jika ia toh tak bangga atas keadaan kini. Aku mencoba menejejalkan betapa indahnya falsafah kebhinekaan, tapi matanya sudah pasti lebih melihat betapa banyak kekerasan dibingkai ego-etnoreligi. Lantas aku berusaha menggerus cerita tentang disiplin, kreatifitas, keramah-tamahan, keindahan, dan banyak anugerah ilahi lainnya bagi bangsa ini. Tapi aku khawatir ia hanya akan mengira itu adalah sempalan kecil dari sekian banyak kebobrokan. Lalu aku mulai diam… Hati-hati aku mulai berbisik: “Dik, kita memang lahir di masa kita hampir tak punya lagi teladan untuk dibanggakan dari negeri ini … kepercayaan kita pada diri sendiri dan diri kita sebagai bangsa telah remuk redam diremas orang-orang dewasa, pemimpin, bapak dan ibu yang kita berikan hormat… kita jadi kecil hati, tak bangga bahkan semakin tak peduli…” Aku genggam tangan anak itu… “Tapi tangan kecil kita ini bisa mengembalikan bahkan menopang kebanggaan luhur yang baru. Tangan ini dipakai dalam doa, dijejalkan dalam karya dan dianjungkan dalam gelora … bisa memberi suatu arti…” “Bahwa Tuhan tak pernah salah mendaulatkan Indonesia sebagai suatu bangsa, bahwa Pertiwi takkan mati di hati orang yang mau mengabdi … Bahwa negeri ini masih punya kita dan begitu banyak orang yang mau mengembang nadi demi kebangkitan …” Ia diam dalam ketakmengertian… bahasaku mungkin aneh baginya, tapi ia kemudian berkata: “Jadi Allah sayang Indonesia, Kak?” Sedikit tergagap aku jawab… “Ya, tentu saja. Kemerdekaan kita adalah hadiah dari-Nya… “ dalam hati aku berharap ia ingat alinea ketiga mukadimah konstitusi negeri ini. Ia menitipkan bendera kecilnya ke tanganku, lalu mulailah tampangnya jadi syahdu, “Ya Allah…,” ia menengadahkan tangan, “Ampunilah dosa-dosa bangsa kami, ampunilah kami, aku juga sayang Indonesia ya Allah… aku pengen Indonesia bangkit dari kehancuran ya Allah.. Amin Ya Rabbal alamin” Kucium bendera kecil itu, seraya membuat tanda salib, “Ya Tuhan yang diseru sekalian alam… Ya Tuhan yang berdaulat atas bangsa ini… dengarkanlah doa anak kecil ini, aku juga mengamininya ya Bapa…” Aku tersenyum simpul… pemandangan kecil ini pasti sudah amat jarang terjadi di persada Nusantara… Tidak untuk doa bersama, mungkin juga tidak untuk karya bersama..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun