Mohon tunggu...
Risdo Simangunsong
Risdo Simangunsong Mohon Tunggu... -

Lahir di Sumatera Utara, Menuntut ilmu dan mengejar panggilan hidup di kota Bandung. Laki-laki yang garing dan nyentrik, sesekali suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ku Cinta Kau, Kau Kutinggalkan

21 Februari 2011   16:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Søren Kierkegaard. Siapa dia? Bagi yang berkecimpung dalam kajian filsafat (terutama filsafat pasca Hegelian) pasti sedikit banyak pernah mendengar tokoh ini. Meski ia amat tersembunyi dari kajian umum, tapi hampir semua perkembangan teori eksistensialisme/subyektifisme dalam teologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial bermula dari kejeniusan idenya yang begitu menerawang zaman. Filsuf berkebangsaan Denmark ini (hidup antara 1813- 1855), termasuk salah satu peolopor untuk gerakan eksistensialisme yang memandang filsafat lebih sebagai jalan hidup dari pada sekedar uraian analitis atas pemikiran. Baginya hampir tak ada artinya kebenaran yang umum dan mutlak benar, jika seseorang tidak mengalaminya. Prinsip yang membuatnya ditentang oleh agamawan yang merasa mereka telah memegang seluruh kunci kepastian hakiki. Prinsip yang juga membuatnya mencoba menghidupi sendiri apa yang ia yakini.

Salah satu contoh ketetapan hatinya untuk menghidupi apa yang diyakini adalah soal percintaannya. Kierkegaard sejak jumpa awal sudah begitu menyukai seorang gadis cantik bernama Regina Olsen. Si gadis pun tampaknya demikian. Rasa suka yang begitu indah ia gambarkan dalam salah satu catatannya dua tahun kemudian:

Regina, engkaulah ratu daulah hatiku, bertahtajauh di kedalaman lubuk hati, dalam segala kepenuhan pikirku akan hidup. Ya, di sanalah engkau bersemayam, tempat dimana jarak laksana jauhnya neraka dan surga.Di sanalah engkau, ya cahaya ilahi yang tak terkenali.

Oh… dapatkah aku sungguh mempercayai puisi-puisi yang didongengkan oleh para penyair. Bahwa saat kali pertama seseorang menatap obyek kasihnya, ia mengira bahwa ia telah melihatnya dahulu kala. Bahwa cinta, seperti halnya semua pengetahuan sebenarnya adalah pengenangan belaka. Bahwa cinta juga menaruh nubuat-nubuatnya sendiri, bentuk-bentuknya sendiri, legendanya sendiri, bahkan Kitab Sucinya sendiri, dalam diri seseorang.

Segala kala rasanya aku melihat unsur keindahanmu dalam wajah tiap gadis. Namun tampaknya aku harus merangkum kecantikan seluruh gadis di dunia untuk menghayati keindahanmu. Nampaknya aku harus berlayar ke seluruh dunia agar ku dapat menemu relung yang kuingini itu. Kesitulah rahasia terdalam ketertarikan hatiku mengarah. Dan… saat engkau begitu dekat denganku, begitu nyata… engkau begitu memenuhi jiwaku sehingga aku menjelma menjadi sejatinya diriku...Ah… amatlah indah nikmatnya.

Engkaulah yangmenyilaukan mata sang dewa cinta. Engkaulah yang melihat dalam kegelapan rahasia. Akankah engkau menyingkapkannya juga bagiku? Akankah ku menemukan yang aku cari di dunia ini? Akankah ku mengalami simpulan dari segala premisku yang janggal?Akankah ku memelukmu dengan dekapanku? Atau akankah Sang Perintah berkata : Maret pasti berlalu. (Catt : mereka berjumpa pertama kali di Maret 1837)

Adakah engkau telah berjalan di depanku, duhai rindu jiwaku? Apakah engkau telah mendahuluiku dan memberi isyarat padaku dari sisi lain dunia? Oh, betapa ingin aku menyingkirkan segalanya demi ku bisa mengikuti jejak isyaratmu itu.

(Journals & Papers of Søren Kierkegaard IIA 347, 2 February 1839, terjemahan dari penulis)

Sangat indah bukan? Tapi bukan Kierkegaard namanya kalau tak menilai dirinya sendiri selaras dengan keyakinannya. Pertama Kierkegaard meyakini kalau dirinya cenderung terlalu melankolis dan ia menilai sikap itu tidaklah baik bagi Regina. Ia juga meyakini bahwa ia akan mati muda, hal yang tentu akan menyusahkan bagi kekasihnya itu. Namun hal yang paling merisaukan sang filsuf adalah, ketakyakinannya bahwa cintanya bisa setimpal dengan ketulusan cinta dari Regina. Ia tidak mau membohongi kekasihnya yang begitu mencintainya tanpa pamrih.

Ia pun memutuskan untuk menarik kembali lamarannya yang telah diajukan. Konon kabarnya calon mertuanya sampai berkali-kali memohon agar Kierkegaard mengurungkan niatnya membatalkan pertunangan. Namun si melankolis ini sudah menetapkan, walau hatinya begitu galau. Kembali dalam sebuah catatan ia menuliskan seklumit perasaannya :

“... dan kegelisahan yang begitu parah ini, ya Tuhan – dimana aku ingin meyakinkan diriku sendiri setiap saat bahwa aku masih selalu mungkin untuk kembali padanya – akankah aku berani menghadapi gelisahku ini? Sangat sesak rasanya; harapan akhirku akan hidup telah kugantungkan padanya, sementara kini ku harus melucuti harapan itu dari diriku. Sungguh asing bagiku. Aku tak pernah berpikir sungguh soal perkawinan, namun ku tak pernah percaya jika harus berakhir dengan cara seperti ini lalu meninggalkan luka yang begitu dalam.

Dulu aku selalu menertawai orang-orang yang membicarakan kekuatan perempuan, sekarang pun masih demikian. Namun untuk sang dara nan cantikserta pengungkap segala rasa ini, sang dara yang selalu mencintai dengan segenap pikir dan hatinya, sang dara yang sungguh sangat berkorban, sungguh sangat membela- betapa seringnya aku begitu takluk dalam kedekatan. Hingga aku hampir saja menaruh cintanya mendekati api. Memang bukan cinta yang penuh dosa, namun aku butuh untuk sekedar berkata padanya bahwa aku mencintainya.

Segalanya seperti telah ditetapkan untuk mengakhiri masa mudaku. Namun kemudian ku sadar bahwa ini mungkin tak baik baginya. Aku mungkin saja menghambur badai di atas kepalanya, karena dia akan merasa bertanggung jawab atas ajalku (Catt: Kierkegaard merasa bahwa hidupnya singkat, ia akan mati muda).

Aku lebih suka pada yang kulakukan ini. Hubunganku dengannya selalu menjadi kegamangan, aku bahkan bisa memberi penafsiran apa saja atas hubungan itu, sesukaku. Aku telah menafsirkannya dengan memandang aku sebagai pendusta. Berbicara secara manusiawi, inilah jalan terbaik satu-satunya bagi Regina, demi ketengangan jiwanya.

Dosaku adalah bahwa aku tak memiliki iman, bahwa bagi Allah tiada yang mustahil dan bahwa ada tapal batas antara hal tersebut dengan mencobai Allah. Namun dosaku bukan dan selamanya bukanlah karena aku tidak mencintainya.

Andai saja dia tidak begitu berkorban untukku, andai saja dia tidak begitu mempercayaiku dan tidak berhenti untuk hidup bagi dirinya sendiri demi hidup buatku – maka semuanya kegelisaan itu tidak akan terlalu berarti. Aku tidak akan terganggu untuk melakukan kekonyolan di dunia dengan tetap bersamanya. Namun tidak untuk menipu gadis muda ini – oh, jika aku berani untuk kembali lagi padanya.

Inilah jalan yang kuambil. Bahkan andai dia tidak percaya kalau aku telah salah dalam hal ini, dia tentu percaya bahwa aku memiliki kehendak bebas untuk tidak kembali lagi padanya. Diamlah ya jiwaku, aku akan bertindak tegas sesuai dengan yang kuyakini benar. Aku juga telah menyaksikan apa yang kutulis dalam suratku padanya. Aku tahu suasana hatiku. Namun dalam surat aku tak dapat seketika menghilangkan kesan bahwa aku melihat kata-kataku terlalu keras. Tidak seperti saat aku berbicara langsung…. “

(Journals & Papers of Søren Kierkegaard IIIA 166, terjemahan dari penulis)

Sang filsuf akhirnya memang membatalkan pertunangan yang romatis itu. Regina akhirnya menikah dengan Friedrich von Schlegel, seorang pegawai pemerintah Denmark. Von Schlegel kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di Guyana Denmark (jajahan Denmark di Kepulauan Amerika Tengah) dan membawa keluarganya ke sana. Sekembalinya mereka dari Guyana Denmark, Soren Kierkegaard telah meninggal tanpa berumahtangga.

Bodoh? Beberapa orang mungkin mengatakan demikian. Tapi Kierkegaard telah menunjukkan satu teladan kejujuran hati, meski pahit. Telah menunjukkan kebebasan bahwa kita tidak akan pernah memiliki kekasih kita, kita hanya bisa menjadi seorang kekasih, sebaik yang kita mau dan mampu.

Nah ada yang tertarik dengan romantisme para filsuf setelah membaca cerita ini?

===

Catatan : sekedar mengajak berfilsafat sebab terlalu sering rubrik filsafat di Kompasiana jadi ajang orang menyukai kebijaksinian dan bukannya mencintai kebijaksanaan.

Kebijaksinian = menganggap yang disni udah cukup bijak, sehingga tak lagi bijak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun