Mohon tunggu...
Risang Rimbatmaja
Risang Rimbatmaja Mohon Tunggu... Freelancer - Teman kucing-kucing

Full time part timer | Fasilitator kampung | Sedang terus belajar bergaul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Main Bola Lawan Virus Corona

24 April 2020   15:21 Diperbarui: 24 April 2020   15:40 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah sekian hari mendekam di rumah, selepas subuh saya kembali keliling kampung dengan 4 kg makanan kucing. Sebagian di tangan. Sebagian di backpack.

Sendirian. Karena Wini ga ada nyali keluar rumah.

Jalanan lebih sepi dibanding jaman normal tapi pada titik-titik tertentu pemandangan tak berubah. Ibu-ibu berkerumun di tukang-tukang sayur. Tidak ada > 1 meter. Sebagian malah nempel-nempelan bahu. Megang-memegang sayur yang sama. Bergantian.

Pas tukang nasi uduk masih berkemas-kemas, satu motor berhenti di depannya. Ditunggangi 3 remaja tanggung. Yang belakang merokok. Pas turun, yang tengah minta rokoknya. Bergantian mereka merokok.

Emosi naik. Apa orang-orang ini tidak dengar berita? Tenaga kesehatan babak belur di rumah sakit. Tidak sedikit yang meninggal karena menangani virus corona.

Tapi pemandangan pagi itu membuat sadar.

Kalau dianalogikan sepak bola, tenaga kesehatan yang tengah berjuang mati-matian itu bukan ujung tombak, bukan striker. Mereka penjaga gawang.

Dan sekarang mereka dihajar lawannya habis-habisan.

Tidak ada bek yang menjaga wilayah pertahanan. Lawan semau-maunya masuk daerah pertahanan. Sebagian dengan langkah petenteng-petenteng karena merasa tokoh. Sebagian lenggang kangkung. Mudah mereka membuat gol.

Penjaga gawang kewalahan, kelelahan.

Sebagian besar kita, warga biasa ataupun pemimpin duduk di bangku penonton. Ramai sorak sorai di media sosial. Bicara di depan pers atau pakai toa berteriak-teriak ke pemain lawan.

Atau tukang pasang poster pertandingan supaya nonton (seperti saya. Hiks). Atau yang bawa air, handuk atau pijat-pijat (Tapi untuk siapa? Wong tak ada pemain).

Kebanyakan kita bukan pemain.

Orang-orang masih kumpul-kumpul, kita diam saja. Tidak kita hadapi. Tidak ditempel (dalam jarak aman). Tidak ada penjagaan wilayah (zonal marking). Tidak ada penjagaan orang ke orang (man to man marking). Tackling? Apalagi.

Tidak ada yang jadi kapten yang mengatur apa yang harus kita lakukan sebagai tim agar orang-orang yang abai segera balik badan ke rumah. Tidak ada striker yang menyerang pentolan-pentolan di kampung yang disegani.

Adanya penonton. Memang, kata orang, penonton itu pemain ke-12. Konon berpengaruh. Tapi kalau pemain benernya cuma 1 (tenaga Kesehatan), apa gunanya pemain ke-12?

Sampai berapa lama lagi penjaga gawang bias bertahan?

---------------------------------

* Ada yang protes: Polisi kan sudah turun tangan. Betul! Mereka itu pemain beneran. Tapi terbatas di pertandingan yang mentereng. Semacam kelas final atau antara klub-klub yang moncer. Tapi pada lebih banyak pertandingan-pertandingan, apalagi kelas tarkam (antar kampung) yang ada di mana-mana, tidak ada pemain dari sisi kita.

Atau kalau pertandingan di kampung, polisi itu wasit atau penjaga garis. Angkat bendera, priit. Bola sudah keluar garis. Tapi di dalam lapangan (kampung) orang-orang abai itu main semena-mena.

** Tulisan ini hanya menganologikan perilaku sehari-hari orang-orang di kampung saya dengan sepakbola. Tidak bermaksud merendahkan kontribusi bermakna semua pihak yang bermain di jalurnya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun