Mohon tunggu...
Risa Fitria
Risa Fitria Mohon Tunggu... Guru - Seorang istri, ibu, guru, dan mahasiswa.

Aku, senja, dan hujan tadi sore.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Travelling Education: Alternatif Pembelajaran Kontekstual Anak Usia Dini

28 Maret 2022   14:19 Diperbarui: 28 Maret 2022   14:22 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Apa yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata travelling? Koper atau ransel besar yang menjadi bekal perjalanan, tiket dan akomodasi lainnya yang membuat rekening tabungan terkuras, ataukah foto berbagai kegiatan selama di perjalanan yang bertebaran di media sosial? Semua itu sah-sah saja, tergantung dari sudut pandang mana kita memaknai travelling ini. 

Travelling dalam bahasa Indonesia sendiri artinya bepergian.  Bepergian sendiri asal kata dasar dari pergi yang artinya berjalan, bergerak maju atau meninggalkan suatu tempat, sedangkan bepergian artinya berjalan jauh. Dari pengertian tersebut dapat ditarik pengertian tersendiri bahwa travelling adalah kegiatan perjalanan menuju suatu tempat atau daerah dengan memiliki tujuan tertentu. Travelling merupakan kegiatan yang digemari oleh banyak orang dengan beragam alasan yang melatarbelakanginya. Termasuk diantaranya karena rutinitas pekerjaan sehari-hari yang terkadang membuat seseorang lelah, sehingga membutuhkan kegiatan lain sebagai penyeimbangnya. Maka travellinglah yang dijadikan solusi untuk hal tersebut. Selain itu, travelling pun dapat dijadikan ajang untuk mempererat hubungan dalam sebuah keluarga. Beberapa diantaranya menjadikan travelling sebagai kegiatan untuk mencari inspirasi, bahkan ada juga yang hanya mengikuti tren belaka. Sehingga sebagian orang menganggap bahwa travelling adalah suatu kebutuhan, tidak hanya dilakukan pada saat libur atau waktu senggang saja, melainkan menjadi kegiatan rutin yang harus dilakukannya.

Inspirasi mengenai travelling yang dikemukakan oleh Saint Agustine "The world is a book, and those who do not travel read only a page", bahwa dunia diibaratkan adalah sebuah buku, dan mereka yang tidak melakukan perjalanan diibaratkan hanya membaca satu halaman saja. Kutipan tersebut menggambarkan betapa kegiatan travelling ini dapat membuka cakrawala wawasan seseorang, menambah pengalaman nyata dan menumbuhkan sikap positif lainnya. Oleh karenanya travelling dapat juga dijadikan sarana pembelajaran bagi seorang anak. Dalam artikel ini penulis akan memaparkan bagaimana travelling dapat dijadikan suatu kegiatan yang bersifat edukatif dan menjadi alternatif dalam pembelajaran kontekstual bagi anak usia dini.

Karakteristik Anak Usia Dini

Menilik definisi anak usia dini menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003, secara yuridis di Indonesia, yang dimaksud anak usia dini ini ditujukan untuk anak yang baru lahir sampai dia berusia enam tahun. Hal tersebut berbeda dengan pengertian secara internasional menurut National Association for the Education of Young Children (NAEYC) yang dimaksud anak usai dini ini adalah anak usia 0 sampai 8 tahun. Sementara itu Soegeng Santoso (Yulis Setyo Wati, 2021) memberi pandangan bahwa anak usia dini adalah seorang individu sebagai makhluk sosiokultural dengan proses perkembangan yang masih berlangsung dan bersifat fundamental dengan memiliki karakteristik tertentu dan berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa di Indonesia anak usia 0 sampai 6 tahun merupakan usia dini awal yang memperoleh pelayanan pendidikan di lembaga PAUD, baik formal, non formal ataupun informal. Selanjutnya usia 6 sampai 8 tahun masuk usia dini akhir yang memperoleh pelayanan pendidikan dasar kelas rendah.

Anak usia dini dengan karakteristik yang khas dan bersifat unik. Mereka bukan miniatur orang dewasa, sehingga perkembangan dan pemikirannya akan sangat berbeda dengan orang dewasa. Terkadang dengan badannya yang masih kecil dan perilakunya yang lucu dapat menjadikan orang dewasa merasa senang dan berkesan. Ataupun sebaliknya, jika perilakunya berlebihan dan tidak bisa dikendalikan tidak jarang orang dewasa merasa kesal dibuatnya. Adalah fitrahnya segala kegiatan dan perilaku yang ditunjukkan seorang anak (Khairi, 2018).

Karakter yang menjadi salah satu kekhasan anak usia dini adalah keingintahuannya yang begitu besar terhadap sesuatu hal. Mereka cenderung ingin menjelajah semua benda yang ada di sekitar lingkungannya. Berbagai pertanyaan sering dilontarkannya untuk memenuhi rasa keingin tahuannya. Terkadang pertanyaan yang muncul sulit dijawab oleh orang dewasa, seperti dimana Tuhan tinggal? Bagaimana caranya adik bayi ada di perut mama? dan pertanyaan lainnya yang di luar dugaan orang dewasa. Sebagai orang dewasa maka tentunya harus bijaksana dan dapat berperan sebagai fasilitator dalam menanggapi pertanyaan atas sikap keingin tahuannya itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab secara ilmiah dan tentunya dengan komunikasi efektif yang dapat dengan mudah dimengerti oleh anak. Orang dewasa pun idealnya harus mampu memfasilitasi anak dengan melibatkannya untuk mencari referensi dan sumber media yang konkrit yang dapat menjawab rasa keingintahuannya tersebut.

Sebagai seorang individu tentunya memiliki karakteristik yang unik. Tentunya karakter tersbut akan berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Meskipun anak tersebut adalah anak kembar sekalipun. Jika dalam satu ruangan terdapat 20 anak maka kita akan menemukan 20 karakter yang tentunya berbeda-beda. Meskipun usianya sama, namun perkembangan kemampuan dasar juga kemampuan perkembangan sosial emosional juga kemandiriannya tidak akan sama. Berdasarkan karakteristik ini, sebagai orang dewasa tentunya harus menghindari memberi label negatif terhadap anak, karena perkembangan anak yang masih terus berproses dan cenderung memerlukan waktu yang berbeda- beda pada setiap anak.

Karakter lainnya yang dimiliki oleh anak usia dini adalah suka berimajinasi dan berfantasi. Imajinasi sendiri berarti kemampuan pikiran untuk mereflesikan segala angan-angan atau proses kreasi berupa gambar, lukisan, karangan, dan sebagainya, yang secara umum berdasarkan kenyataan atau hal yang dialami oleh seseorang. Sedangkan fantasi merupakan hal yang berhubungan dengan khayalan, angan-angan yang ada hanya di pikiran saja (Rahmanda & Wiguna, 2018). Anak pada usia dini ini sangat suka membayangkan sesuatu hal dan melampaui kenyataan yang sesungguhnya. Apabila hal ini dikembangkan dan diarahkan secara positif maka akan dapat membantu akan dalam mengembangkan kreativitasnya dari potensi dan bakat yang dimilikinya.

Egosentrisme adalah karakter lain yang terdapat pada anak usia dini. Mereka pada umumnya hanya dapat memahami sesuatu dari sudut pandang dirinya, bukan sudut pandang orang lain. Sebagai contoh dia akan menganggap bahwa teman yang dekat dengan dirinya tidak boleh dekat dengan orang lain. Atau semua orang yang ada di ruangan tersebut harus memberi perhatian terhadapnya, dan lain sebagainya. Sebagai orang dewasa sudah sepatutnya mengarahkan dan membantu perkembangan emosinya melalui pembiasaan pembiasaan yang positif.

Anak usia dini cenderung memiliki waktu daya konsentrasi yang tidak begitu lama. Menurut Slameto (dalam Ismi et al., 2021) menyatakan bahwa pada dasarnya kemampuan untuk fokus dan dapat berkonsentrasi ada pada setiap individu, bukan suatu kemampuan yang dapat dikembangkan karena bukan suatu bakat. Anak usia dini hanya mampu berkonsentrasi dan duduk tenang fokus pada suatu hal maksimal sepuluh menit (Wati: 2021), kecuali ada sesuatu hal yang menarik dan menyenangkan dirinya. Oleh karena itu, agar anak selalu tertarik dan antusias sehingga dapat berkonsentrasi dengan waktu yang relatif lama, maka diperlukan suatu strategi untuk merancang kegiatan pembelajaran yang tentunya dapat menstimulus segala perkembangannya.

Setelah memahami karakteristik usia dini ini tentunya sebagai orang dewasa diharapkan dapat menjalankan peran-peran yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangannya. Adapun peran orang dewasa yang dapat dilakukan antara lain sebagai fasilitator dan motivator. Orang dewasa harus dapat menjadi fasilitator dalam mendesain dan menciptakan kegiatan maupun lingkungan yang edukatif demi memaksimalkan segala potensi dan ketercapaian pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.

Pembelajaran Konstektual Anak Usia Dini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun