Mohon tunggu...
MuhammadRohman Irfanuddin
MuhammadRohman Irfanuddin Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa D3 Komputer dan Sistem Informasi - Universitas Gadjah Mada

Candu beraksara membuatku larut akan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepucuk Nama dari Barista

3 November 2019   23:32 Diperbarui: 3 November 2019   23:49 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini, ia merasa riuh di kepala, di lubuk sukma, di atas kertas–bukan untuk menulis, toh ia di hiruk pikuknya merasa asing untuk aksaranya sendiri. Ia butuh kesunyian untuk mengenang kekosongan. Ia memutuskan membeli kesunyian di kedai kopi langganannya–di belantara desa pojok kota.

Sesampainya disana, ia memesan satu cangkir kesunyian. Kata barista, harganya tidak terlalu mahal, cukup kesendirian dan sekian rupiah mimpi-mimpi. Ia memeriksa dompet, berharap harga itu cukup. Sayang, ia hanya memiliki satu mimpi yang tak bertuan. Barista mengatakan itu kurang. Akhirnya, ia kembali melihat daftar menu yang telah diurutkan berdasarkan kesunyian. Ia memandang ke nama kopi yang memiliki tingkat kesunyian paling tinggi: aeropress.

Seluruh isi dompet ia keluarkan. "Ini terlalu banyak, tuan", kata barista. Ia meminta kembalian sepucuk nama, untuk menemaninya menghabiskan kesunyian.

"Baik, nanti kami antar", ujar barista. "Tidak perlu, saya ingin melihat kesunyian dibuat, biarkan saya lebih lama disini, nanti biar saya bawa sendiri pula". "Baik, tuan", seorang bertopi dengan celemek di perut mengiyakan, sejenak hening. Barista itu memecah keheningan dengan menjelaskan setiap proses pembuatan, "kopi ini dibuat dengan dosis kopi yang cenderung banyak, tuan. Dengan ekstraksi yang cenderung singkat dan sesekali pengadukan. Lalu, sampai sini sebenarnya sudah cukup kadar kesunyian, tuan ingin tambahan lain?". "Ah, sepertinya cukup, menarik sekali".

Ia duduk di meja beratap langit dan awan. Bersama kopi, nama, dan angin yang membelai-belai rambutnya; ia membuka halaman mimpi dan mengejanya satu-persatu. Sesekali meneguk tipis-tipis kopinya untuk menjaga nama tetap berumah di kepala.

Ia mengeluarkan buku lain, kali ini buku puisi. Di halaman yang serba putih, ia telah bersahabat dengan keriuhan yang ia bawa sebelum ke kedai kopi. Ia melipatnya menjadi pesawat-pesawatan dan menerbangkannya ke keabadian–begitu juga nama.

Di tegukan kopi terakhir yang telah dingin oleh sebab angin yang mencuri kehangatannya tanpa permisi, ia pulang sebagai puisi yang terabadikan dalam setiap baris yang tak kunjung bertemu tanda baca. Tanda tanya-kah? Tanda seru? Atau koma? Barangkali titik, sehingga ia dapat beristirahat dalam kebadaian yang ia cipta.

Wirobrajan, 2 November 2019

* di posting pertama di website milik pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun