entah sudah berapa lama
tumpukkan itu terus ditimbun
dengan daun-daun yang dulu rimbun
kering sudah, tersisa batang nestapa
dulu, di awal petikan pertama
kita duduk bersama, seperti saudara
semua bersahaja, segalanya indah
membangun harapan
pada peta masa depan
menyusun rencana senja penuh keindahan
tapi, lihatlah kini
timbunan itu menggunung tinggi
engkau terpendam, bahkan tak lagi mampu melihat diri sendiri
aku berkali-kali ingin menolongmu
agar keluar dari timbunan itu
tapi, mendengarpun kau tak lagi mampu
di wajahmu ada api kengerian
yang coba kau padamkan dengan kepura-puraan
tapi bahagia tak pernah ada pada tiap senyum yang kau paksakan.
aku tahu ada pergumulan
antara kepentingan dan kesadaran
namun, engkau memilih untuk membunuh kepedulian
aku tak lagi bisa melihatmu
mendekat sedikitpun bahkan tak mampu
timbunan itu telah menjadi ular yang menelanmu
maka, seperti dahan tua
punggungmu melengkung menahan beban
kehausan dunia, membuat engkau dibutakan
engkau hanya menunggu patah! takkan lama!
Jakarta, 2 November 2022