Ada saat kepala tegak, atau pongah menengadah, memicingkan sebelah mata, menaikkan sudut bibir sebelah atau menebar derma dengan harapan warta.
Semu, kosmetika murah, penambal wajah yang berlobangkan ngarai-ngarai riya.
Ada pula saat menjaga marwah, berlagak pemilik dunia, mencoba melukiskan deretan bunyi terindah bagi sang pemilik telinga. Untuk apa? Untuk siapa? Sekedar upacara yang ujungnya adalah babak-babak dalam drama.
Aku ingin belajar pada ketenangan permukaan danau, yang tak pernah menunjukkan kedalamannya. Juga pada amarah gunung api yang menyuburkan lapisan-lapisan tanah.
Aku ingin menempuh jalan-jalan yang ditempuh sang udara, yang tak tampak namun menghidupkan. Atau pada tulus mentari, tak peduli pada hujat di kemarau dan puja-puji saat penghujan tiba. Lurus, terus dan istiqamah.
Tapi dari itu semua, aku ingin sekedar mampu untuk tunduk dalam syukur, secara sederhana, secara apa adanya.
Pamulang, 15 Desember 2019