Mohon tunggu...
Suripman
Suripman Mohon Tunggu... Akuntan - Karyawan Swasta

Pekerja biasa, menulis alakadarnya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pocong dan Singkong

15 Agustus 2019   07:17 Diperbarui: 15 Agustus 2019   10:51 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
chicagoskylineart.com

Pocong-pocong beraneka warna, mondar-mandir tanpa nyawa, komat-kamit melafal mantra, di atas kereta, di dalam bandara, di dapur juga di sawah. Di warung, di jalan raya, di mana-mana.

Pocong-pocong dibungkus dan diikat, tak merdeka, tak bebas. Selamanya terjajah, tunduk pada empunya, tak boleh banyak suara, menurut saja. Dan pocong-pocong percaya, itu adalah kodratnya, tunduk patuh, tak pernah membantah.

Singkong bisa tumbuh di mana saja, pantai, gunung dan lembah, di pedalaman desa, apalagi di kota-kota.

Singkong tak kenal tatakrama, menyingkap kulit memamerkan lekuk putih mengkilat dagingnya. Di permukaan, singkong memamerkan rimbun hijau daunnya. Batang singkong membatasi sendiri ruas demi ruasnya.

Pocong dan singkong, sama-sama melompong, penuh dusta, penuh bohong. Pocong selesai setelah dimasukkan ke tanah, singkong selesai saat tercerabut ke udara. Pocong dan singkong, tak pernah benar-benar bersama.

Jakarta, 15 Agustus 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun