Pocong-pocong beraneka warna, mondar-mandir tanpa nyawa, komat-kamit melafal mantra, di atas kereta, di dalam bandara, di dapur juga di sawah. Di warung, di jalan raya, di mana-mana.
Pocong-pocong dibungkus dan diikat, tak merdeka, tak bebas. Selamanya terjajah, tunduk pada empunya, tak boleh banyak suara, menurut saja. Dan pocong-pocong percaya, itu adalah kodratnya, tunduk patuh, tak pernah membantah.
Singkong bisa tumbuh di mana saja, pantai, gunung dan lembah, di pedalaman desa, apalagi di kota-kota.
Singkong tak kenal tatakrama, menyingkap kulit memamerkan lekuk putih mengkilat dagingnya. Di permukaan, singkong memamerkan rimbun hijau daunnya. Batang singkong membatasi sendiri ruas demi ruasnya.
Pocong dan singkong, sama-sama melompong, penuh dusta, penuh bohong. Pocong selesai setelah dimasukkan ke tanah, singkong selesai saat tercerabut ke udara. Pocong dan singkong, tak pernah benar-benar bersama.
Jakarta, 15 Agustus 2019