Bangsa kita terkenal dengan kesopanan, keramahtamahan, adab dan budayanya yang tinggi. Tapi jujur harus kita akui, nilai-nilai luhur ini makin hari makin tergerus. Saya sering merinding membaca ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial. Entah itu dalam wujud perdebatan, komentar atau tanggapan atas sebuah peristiwa maupun pemberitaan. Terkadang malah mengerikan!
Ghirah demokrasi yang kebablasan
Dalam periode orde baru, semua perbedaan pendapat, terutama perbedaan terhadap penguasa saat itu adalah tabu. Orang bisa saja hilang tak berbekas jika secara terang-terangan mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah. Sejak reformasi, orang tidak lagi takut bersuara. Kebebasan berpendapat dihargai sebagai salah satu pilar demokrasi.
Sejak itu pula, semua orang bebas bersuara. Tentu ini sebuah langkah maju yang patut kita syukuri. Namun seiring dengan waktu, kebebasan bersuara ini meninggalkan aspek kesopanan dalam cara penyampaiannya.
Penghormatan kepada orang tua, orang yang dituakan, simbol-simbol pemerintahan bahkan agama terdegradasi begitu dalam. Presiden sekalipun terkadang tidak diberikan penghargaan yang sepantasnya. Tak kurang seorang Kyai Haji Maimun Zubair, Mustofa Bisri, Buya Syafii Maarif bisa menjadi sasaran hujatan. Bukannya mengharamkan kritik, tapi bukankah kritik yang baik tidak harus disampaikan dengan cara dan kata-kata yang jauh dari kesopanan?
Ironinya, beberapa pejabat tinggi, mantan pejabat tinggi dan pemuka agama tidak memberikan teladan bagaimana cara yang santun dan sopan dalam memberikan pandangan. Mereka justru menjadi contoh buruk sekaligus katalisator dalam degradasi ini. Penyebabnya hanya karena berbeda pandangan atau kepentingan. Kebablasan!
Media Sosial, Kepentingan dan Logika
Media sosial telah merevolusi cara berkomunikasi. Semua menjadi mudah dan cepat. Sayang sekali perubahan yang seharusnya sangat positif ini justru tidak diimbangi dengan kemampuan logika penggunanya. Informasi apapun dilahap dan disebarkan lagi jika sesuai dengan kepentingan, preferensi dan prejudice dari pemakainya.
Logika pengguna sering terlambat dalam menyikapi sebuah berita. Entah itu berita benar atau tidak, sepanjang selaras, cocok dengan rasa dan kepentingan langsung disebarkan. Salah-benar, valid atau hoax urusan belakangan. Kalau dianggap mewakili kepentingan kelompok, dan apalagi bisa digunakan untuk menghajar pihak lain, langsung disebarkan dengan atau tanpa tambahan kalimat-kalimat yang jauh dari sejuk.
Pengguna media sosial yang demikian mungkin merasa toh tidak ada yang bisa melihat, merasa bisa "hilang" dengan akun anonim. Lalu bisa mengumbar kebencian sejadi-jadinya. Dalam tulisan lain saya menyebutnya sebagai efek cincin Gyges. (https://www.kompasiana.com/ripman/58aeb20984afbd7305f1b3c8/medsos-moral-dan-cincin-gyges). Â Â
 Â