Tahun 1998 adalah tahun dimana bangsa Indonesia mengalami gejolak politik. Gejolak politik yang dialami oleh bangsa Indonesia saat itu disebabkan faktor krisis multidimensional terutama krisis ekonomi dan politik. Reformasi tahun 1998 merupakan koreksi terhadap jalanya pemerintahan orde baru yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun lamanya. Reformasi tahun 1998 adalah sebuah tuntutan untuk mengadakan perubahan di berbagai bidang.
Di balik kesuksesan yang berhasil diraih di masa orde baru seperti pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 7 persen pertahun, keberhasilan Indonesia dalam mengekspor beras, dan kondisi politik yang stabil ada beberapa permasalahan yang cukup miris. Pemerintahan orde baru adalah pemerintahan yang militeristik sehingga terkesan menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan bersenjata. Pemerintah orde baru juga terkesan mengesampingkan dalam kebebasan berpendapat. Di masa ini jugalah tercipta kesenjangan ekonomi yang cukup lebar karena kekayaan negara dikuasai oleh segelintir orang, karena keadaan yang seperti inilah kebijakan pemerintahan orde baru mulai dikiritik oleh banyak pihak salah satunya Wiji Thukul.
Siapakah yang tidak kenal dengan tokoh Wiji Thukul ?. Ya, Wiji Thukul adalah salah seorang aktivis yang kerap kali melontarkan kritik kepada pemerintah melalui karya-karya puisinya. Puisi-puisi karyanya berisi mengenai perlawanan terhadap pemerintah orde baru yang saat itu dianggap otoriter dan menindas hak-hak rakyat. Salah satu puisi karya dari Wiji Thukul yang akan dibahas kali ini ialah yang berjudul "Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu"
"Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu" memiliki arti tentang suasana kehidupan masyarakat Indonesia di masa orde baru. Kedamaian yang tercipta dimasa orde baru adalah sebuah kedamaian yang sifatnya hanya pencitraan saja. Di balik situasi dan kondisi yang dianggap damai tersebut terjadi konflik di kalangan masyarakat dengan pemerintah yang kerap kali diselesaikan dengan kekerasan. Sebut saja konflik yang terjadi di Talangsari ataupun di Tanjung Priuk tahun 1980 an.
"Apa guna ilmu kalau hanya untuk mengibuli". Kalimat tersebut dapat diartikan apa gunanya kita punya ilmu kalau hanya untuk membohongi. Para pejabat umumnya adalah orang yang memiliki cukup ilmu, lulusan dari perguruan tinggi tetapi sayangnya ilmu yang mereka punya digunakan untuk menipu rakyat. Menipu rakyat dengan janji "Kemakmuran".
"Apa gunanya banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu". pada dasarnya membaca buku akan membuat kita terbuka wawasanya, akan tetapi apa gunanya punya banyak wawasan jika kita tidak berani untuk mengungkapkan pendapat kita. Di zaman orde baru sangat di batasi sekali hak-hak masyarakat untuk mengeluarkan pendapat, apalagi jika pendapat itu bertentangan dengan pemerintah maka akan dianggap sebagai sebuah ancaman. Padahal dalam UUD 1945 dikatakan bahwa tiap-tiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat baik melalui lisan ataupun tulisan.
"Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah". Ini mengartikan bahwa pada masa itu setiap ada masalah selalu diselesaikan dengan kekerasan fisik. Penyelesaian masalah secara fisik selalu dianggap sebagai cara efektif untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Contoh penyelesaian permasalahan melalui kekerasan adalah peristiwa Talangsari dan Tanjung Priuk dan menimbulkan korban jiwa.
"Kong kali kong dengan kaum cukong". Artinya adalah kerjasama dengan kaum cukong. Di zaman orde baru siapapun yang dekat dengan pemerintahan Soeharto maka dia akan mendapatkan akses dalam hal ekonomi atau politik, hal ini tentu rawan sekali dengan tindakan yang mengarah pada Kolusi Korupsi dan Nepotisme. Kekayaan alam di negara ini juga di kuasai oleh segelintir orang sehingga menyebabkan kesenjangan sosial cukup tinggi antara si kaya dan si miskin sehingga munculah kalimat "Yang Kaya Semakin Kaya Yang Miskin Semakin Miskin".
"Di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah tetapi dengan harga murah". Artinya adalah setiap ada pembangunan pasti memerlukan biaya untuk pembebasan lahan. Saat itu juga rakyat di desa-desa akan dipaksa menjual tanahnya dengan harga yang murah sehingga hal inilah yang menyebabkan konflik antara pemerintah dengan rakyat terkait perebutan tanah. Salah satu contoh dari konflik tersebut adalah konflik di Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali antara tahun 1985 hingga 1993 saat dibangunya Waduk Kedung Ombo.
Di kalimat terakhir dalam puisi tersebut kembali ditutup dengan "Apa guna punya ilmu kalau mulut kau bungkam melulu". Maknanya adalah apa gunanya kita punya banyak ilmu kalau kita tidak berani mengutarakan pendapat. Tidak berani menyuarakan suara masyarakat, kebenaran dan keadilan. Apa gunanya kita punya banyak ilmu kalau suara kita dibungkam melulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI