Seperti biasa, Ramadan selalu menjadi bulan yang penuh keberkahan dan refleksi. Dalam suasana penuh ketenangan ini, saya sering berpikir bahwa menulis bukan sekadar hobi atau pekerjaan, tetapi juga bisa menjadi bagian dari ibadah.
Saat menjalankan puasa, saya merasakan tantangan yang berbeda, dari energi yang berkurang, konsentrasi yang diuji, hingga godaan untuk bermalas-malasan.
Namun, saya percaya bahwa menulis tetap bisa dilakukan dengan penuh semangat, bahkan di tengah segala keterbatasan yang ada.
Antara Lapar dan Inspirasi
Terkadang saya mengalami momen di mana ide-ide justru mengalir deras saat berpuasa. Saat tubuh menahan diri dari makan dan minum di Bulan Ramadan, saya justru merasa lebih fokus dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan.
Banyak penulis besar yang tetap berkarya meski dalam keadaan sulit. Jika mereka bisa, mengapa saya tidak? Justru, puasa memberikan kesempatan untuk lebih memahami diri sendiri, menggali ide-ide terdalam, dan menuliskannya dengan lantang.
Saya percaya bahwa setiap kata yang ditulis dengan niat baik dapat menjadi pahala, apalagi jika tulisan tersebut menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.
Menulis di bulan Ramadan tentu bukan tanpa tantangan. Saya sering merasa mengantuk setelah sahur, sulit berkonsentrasi di siang hari, dan mengalami kelelahan di sore menjelang berbuka.
Saya lebih suka menulis setelah jam tujuh atau delapan pagi, ketika pikiran masih segar dan energi masih cukup tinggi. Waktu setelah tarawih juga bisa menjadi pilihan, terutama jika ingin menulis dengan suasana lebih santai.
Alih-alih memaksakan diri menulis ribuan kata dalam sehari, saya lebih memilih untuk menetapkan target yang realistis. Bisa jadi hanya 500-700 kata, tetapi yang terpenting adalah konsistensi.
Menulis Sebagai Ibadah
Saya semakin yakin bahwa menulis bisa menjadi ibadah, terutama jika dilakukan dengan niat yang baik. Tulisan yang menginspirasi, membangun semangat, dan membawa manfaat bagi orang lain tentu bernilai pahala.