Ketiga, Bawaslu dapat memberi rekomendasi kepada polisi untuk sanksi pidana.Â
Namun, koordinasi antara Bawaslu dan Polisi dikhawatirkan tidak berjalan baik. Polisi bisa saja, misalnya, tidak mengindahkan perintah Bawaslu untuk membubarkan kampanye.Â
Potensi untuk saling lempar tanggung jawab pun terbuka lebar. Apalagi sudah terbukti di Minahasa soal polisi yang tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu untuk membubarkan kerumunan massa kampanye yang dilakukan salah satu kandidat.
Seperti diketahui, polisi menindak para pelanggar berdasarkan KUHP dan/atau UU Kekarantinaan dan/atau UU Tentang Wabah Penyakit.
Kendati polisi pernah memproses pidana seseorang terkait pelanggaran protokol kesehatan, tetap tidak ada jaminan kalau polisi akan mengindahkan setiap rekomendasi Bawaslu, yang bertindak berdasarkan PKPU.Â
Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Bawaslu lemah. Para pelanggar tak akan jera dengan ketidaksempurnaan regulasi ini, karena mereka kemungkinan besar hanya diberi teguran.Â
Padahal, pelanggaran protokol kesehatan ketika kampanye sangat memberi dampak mengerikan bagi keselamatan warga seantero daerah tempat berlangsungnya hajatan itu.
Itu sejatinya membuktikan bahwa para penyelenggara pilkada bencana ini tidak bisa menjamin, bahkan sudah mengancam nyawa warga.
Mereka semua, terutama pemerintah, sudah ingkar terhadap keselamatan jiwa dan raga rakyat.
Melihat hal itu, pemerintah harus mengeluarkan Perppu untuk menguatkan posisi Bawaslu dan menegaskan kembali soal sanksi.
Bukan semata-mata untuk Bawaslu, Perppu juga harus menyediakan sarana bagi para pemilih rentan untuk berpartisipasi dalam pilkada.Â