Mohon tunggu...
Rio Nizar Firdauzi
Rio Nizar Firdauzi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Selalu berusaha untuk menjadi lebih baik lagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Menikah Secara Adat Kalau Tidak Ingin Hidup Susah

8 Oktober 2011   04:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semua orang pasti mengetahui bahwa Indonesia memiliki berbagai macam suku dan adat istiadat. Dari mulai Sabang sampai Merauke mempunyai adat dan keunikan masing-masing yang memperkaya ragam budaya Indonesia. Namun apakah semua adat itu perlu tetap dilestarikan kemurniannya tanpa ada perlu penyesuaian dengan perkembangan jaman ? Mari kita sama-sama melihat dan memikirkan bagaimana seharusnya mengenai hal itu.

Bila kita pernah ke daerah Sulawesi ataupun ke daerah NTT pasti kita akan mengenal dengan namanya "Uang Naik" (daerah Sulawesi) atau "Belis" (daerah NTT) . Uang naik atau belis ini adalah salah satu mahar dalam pernikahan  yang harus dipenuhi dulu sebelum melangsungkan pernikahan, dimana bentuknya bisa berupa uang, hewan ternak, dsb. Memang di semua daerah dalam melangsungkan sebuah pernikahan pasti ada yang namanya mahar, namun ada yang menarik pada uang naik atau belis ini.

Pengalaman saya waktu tinggal di Sulawesi, saya mendapatkan informasi dari teman-teman saya mengenai uang naik ini dimana nominalnya ditentukan oleh keluarga calon istri serta jumlahnya bisa mencapai Rp 50 juta bahkan lebih. Dan selain uang naik, ada juga yang namanya "Uang Susu" dimana uang ini untuk pengganti air susu Ibunya yang selama ini diberikan kepada sang calon istri dan nominalnya ditentukan oleh pihak keluarga calon istri juga. Jadi sebelum menikah, si pria harus menyiapkan dan menyerahkan dulu uang naik + uang susu. Mungkin bagi orang yang mampu, hal ini dianggap wajar dan tidak memberatkan. Namun bagaimana dengan bagi yang kurang mampu ? info yang saya dapat, bahkan ada yang nekat untuk berhutang atau bahkan menjual sawahnya.

Berbeda lagi dengan pengalaman saya waktu tinggal di NTT. Saya mempunyai teman yang berasal dari Sumba Timur dan Rote. Dari sharing yang saya dapat dari teman Sumba Timur, dia pada waktu menikah kena belis sebanyak 16 ekor kuda dan karena pada saat menikahi istrinya tersebut harus membuat sang istri putus kuliah, dia dikenakan tambahan belis sebanyak 4 ekor kuda. Wow...bisa membuat lomba balap kuda itu pikir saya. Namun karena teman saya ini belum mampu melunasi belisnya, maka hanya bisa nikah adat dengan catatan : istri tidak boleh keluar dari rumah orang tuanya (tidak boleh tinggal di rumah keluarga suami atau tinggal di rumah yang disediakan suami), bila mempunyai anak maka anak tidak boleh memakai marga sang suami, pernikahan belum boleh tercatat secara resmi sehingga surat nikah, KK dan akte lahir sang anak belum bisa diurus. Efeknya adalah sang suami selain harus menafkahi keluarga juga harus menyicil belis tersebut sampai lunas. Selain itu karena tidak ada surat-surat nikah yang resmi, maka kesehatan anak dan istri tidak bisa ditanggung oleh perusahaan tempat teman saya bekerja. Lalu bagaimana dengan nasib anaknya ? ini yang perlu dipikirkan juga karena untuk sekolah memerlukan akte kelahiran dan KK.

Sedangkan sharing dari teman saya yang berasal dari Rote, hampir sama belisnya hanya saja bukan berupa kuda, melainkan uang yang harus diserahkan ke keluarga calon istri. Nantinya uang ini akan dipakai untuk pesta pernikahan dan perabot-perabot rumah tangga yang akan diberikan kembali kepada sang calon suami-istri. Pertanyaan yang sama, bagaimana dengan yang kurang mampu ? jawabannya adalah terpaksa hutang.

Deskripsi di atas adalah beberapa contoh yang saya ketahui dan saya yakin masih banyak lagi keunikan adat di Indonesia ini. Namun deskripsi yang dipaparkan di atas sama sekali tidak ada maksud untuk menjelek-jelekkan atau menyalahkan adat yang sudah ada. Tapi apabila dipaksakan tanpa ada fleksibilatas dan melihat sikon, tidakkah hal ini akan semakin menyulitkan kehidupan masyarakatnya ? Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya hidup saat ini semakin mahal dan saya yakin pasti Anda setuju bahwa pernikahan bukan hanya untuk sehari atau dua hari, namun masih ada kehidupan pernikahan yang masih panjang. Rejeki memang Tuhan yang mengatur, namun apakah tidak lebih nyaman apabila kita tidak memperberat hidup dengan harus terlalu saklek terhadap adat yang sudah ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun