Saya anak kedua dari keluarga Batak. Ayah saya meninggal beberapa tahun lalu, tepat di masa-masa gelap pandemi Covid. Sejak itu, ibu tinggal bersama adik bungsu saya di kampung. Adik saya bekerja serabutan. Â Kakak saya, abang tertua kami, juga tinggal di kampung. Ia sudah berkeluarga, tapi hidup sederhana sebagai petani. Dalam banyak hal, secara ekonomi, ibu saya kini bergantung pada saya.
Sementara itu, saya tinggal di kota bersama istri dan dua anak kecil. Anak pertama sudah masuk taman kanak-kanak, dan yang kedua sebentar lagi akan menyusul. Saya bekerja sebagai freelancer, dan walau penghasilan saya tidak tetap, nominalnya kadang cukup besar. Tapi besar di atas kertas tidak selalu berarti cukup dalam kenyataan. Karena dari pendapatan saya itulah saya menanggung dua dunia: keluarga kecil saya di kota dan keluarga besar saya di kampung.
Saya hidup sebagai bagian dari generasi sandwich---generasi yang terjepit di antara dua arah tanggung jawab. Anak-anak saya masih sangat membutuhkan perhatian, waktu, dan biaya. Di sisi lain, ibu saya dan keluarga besar di kampung juga membutuhkan dukungan yang sama---terutama dalam bentuk finansial. Tapi beban saya tidak berhenti di sana. Sebagai orang Batak, tanggung jawab sosial dan adat tidak hanya mencakup keluarga inti. Nilai-nilai yang saya warisi sejak kecil mengajarkan bahwa darah dan marga itu menyatukan, dan bahwa keluarga tidak hanya sebatas orang tua dan saudara kandung, tapi juga kerabat jauh yang masih satu marga, bahkan yang saya jarang temui sekalipun.
Dalam budaya kami, membantu keluarga bukanlah kebaikan tambahan, melainkan bagian dari harga diri. Ketika ada pernikahan keluarga, saya harus memberi sumbangan. Ketika ada kematian, saya harus ikut menanggung biaya pemakaman. Dalam banyak situasi, saya tahu bahwa kehadiran saya sebagai anak lelaki Batak membawa tanggung jawab sosial yang lebih besar. Tapi yang sering luput dari perhatian orang luar adalah bahwa beban itu menjadi dua kali lipat setelah menikah. Karena sejak itu, saya juga menjadi bagian dari keluarga istri saya.
Saya kini tak hanya menanggung kebutuhan dari pihak saya sendiri, tapi juga menjadi bagian dari pihak hula-hula---mertua dan seluruh kerabat istri. Dalam banyak acara adat, saya dipanggil bukan sebagai tamu, tapi sebagai bagian yang wajib ikut memberi. Terkadang, permintaan untuk menyumbang atau hadir datang hampir bersamaan---dari pihak saya dan pihak istri. Dan saya harus membagi diri, waktu, dan uang, di antara keduanya.
Saya tidak mengatakan bahwa saya keberatan. Saya bangga menjadi bagian dari budaya yang kuat dan hangat. Tapi realitas ini seringkali membuat saya bertanya dalam diam: apakah mungkin saya bisa pensiun suatu hari nanti? Atau apakah saya harus terus bekerja seumur hidup untuk memenuhi semua kewajiban sosial dan ekonomi ini?
Pensiun, dalam bayangan saya, bukan berarti berhenti dari kehidupan. Tapi tentang pilihan. Tentang punya cukup bekal agar bisa memilih bekerja karena suka, bukan karena terpaksa. Saya ingin di usia 55 atau 60 nanti bisa hidup tenang, tetap produktif mungkin, tapi tidak lagi dihantui tagihan bulanan atau permintaan mendadak dari kampung. Saya ingin bisa berkata "ya" untuk membantu, tanpa merasa khawatir keuangan keluarga saya sendiri akan terganggu. Tapi untuk sampai ke sana, saya tahu, saya butuh rencana panjang dan disiplin yang kuat.
Saya dan istri perlahan mulai belajar menata. Kami membuka tabungan pendidikan anak, mulai berani bicara soal asuransi, bahkan mulai memahami pentingnya dana darurat. Tapi menabung dalam kondisi seperti ini ibarat mengisi ember bocor. Setiap kali mulai penuh, selalu saja ada yang membuatnya tumpah---entah biaya sakit ibu, sumbangan pesta keluarga, atau kebutuhan mendadak anak-anak. Saya pernah menabung cukup banyak untuk dana sekolah anak, lalu tiba-tiba harus menggunakan separuhnya untuk membantu keluarga yang terkena musibah di kampung. Saya tahu saya tak bisa menutup mata. Tapi saya juga tak bisa terus membiarkan masa depan keluarga kecil saya terabaikan.
Rasanya seperti berdiri di tengah jembatan yang goyah. Di satu sisi, saya ingin menghormati orang tua dan menjaga hubungan keluarga besar. Di sisi lain, saya ingin menjadi ayah yang hadir untuk anak-anak, bukan ayah yang terus sibuk bekerja dan stres menghitung pengeluaran. Kadang saya merasa bersalah kalau tak bisa mengirim cukup untuk ibu. Kadang saya merasa bersalah karena terlalu sibuk dan anak saya hanya bertemu saya saat saya sudah kelelahan.
Tapi saya belajar untuk berdamai. Saya tahu saya tidak sendirian. Banyak teman saya juga berdiri di tengah seperti ini. Kami adalah generasi yang sedang menjembatani dua ujung zaman: zaman orang tua kita yang mengandalkan anak, dan zaman anak-anak kita yang nanti akan hidup di dunia yang lebih mandiri. Tugas kami adalah menjadi jembatan yang kuat, meski mungkin tidak selalu utuh. Kami hanya bisa berharap bahwa apa yang kami lakukan hari ini, bisa menciptakan jalan yang lebih stabil untuk generasi setelah kami.