Sepertinya tidak begitu penting apakah Ijazah Jokowi asli atau palsu. Keributan ini bukan soal kebenaran. Betapapun bukti-bukti menunjukkan ijazah Jokowi asli atau palsu, keributan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Para sutradara keributan ini benar-benar paham, masyarakat yang sedang dipusingkan oleh kesulitan ekomi butuh isu sensitif sebagai pelampiasan, bisa juga hiburan pelarian. Karena itulah orang-orang yang membenci dan juga yang masih mencintai Jokowi dengan cepat menyambar apapun kabar terbaru yang berkaitan dengan  masalah ini. Lihatlah komentar bertubi-tubi, saling menyahut antara pendukung dan penentang, hanya hitungan menit sejak menit Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berbicara kepada media menyoroti masalah ini.
Bahlil sekilas ingin meredakan masalah ini dengan alasan tidak produktif. Tetapi pada kenyataannya dia justru melemparkan ranting kering ke kobaran api. Para pendukung dan penentang dengan cepat menyambar.
Kemunculan Bahlil bisa juga mungkin semacam pertunjukan kekuasaan dari Jokowi. Bagaimana seorang menteri mengomentari persoalan yang sama sekali tak berkaitan dengan bidangnya dan juga bukan tentang sosok yang sedang berada dalam birokrasi. Begitulah mungkin Jokowi memberi sinyal. Dirinya bisa saja tak memiliki kekuasaan formal lagi, tapi masih memegang tali kendali kekuasaan. Meniru bahasa para rocker, Jokowi (melalui kemunculan Bahlil) seakan-akan mau berkata you see, I can climb the stage again, anytime.
Yah, ada juga analis yang mengatakan ini isu lama yang sengaja terus dibiarkan bergulir. Tensinya aja yang ditarik-ulur. Kapan dibuat agak reda, kapan dibuat berkobar sesuai kebutuah dan situasi. Semacam manajemen isu agar Jokowi terus dalam sorotan. Setelah tak berkuasa memang Jokowi tak lagi punya panggung resmi untuk terus disorot media. Ketika berkuasa tentu dia memiliki beribu isu positif yang bisa digunakan sebagai panggung. Entah itu masalah gorong-gorong yang mesti dia tangani sendiri karena yang lain tak becus bekerja; entah masalah pungli di pelabuhan yang harus dia berantas sendiri.
Tak ada lagi pencitraan positif yang bisa dimainkan, mungkin mengorkestrasi sebuah isu negatif juga masih berguna karena sorotan media adalah harta tak ternilai mahal dalam politik. Ini ada masuk akalnya kalau kita ingat bagaimana Jokowi sendiri justru menciptakan sendiri kontroversi-kontroversi mengenai latar belakang akademiknya. Dia pernah mengaku hanya mendapatkan IPK di bahwa 2 (keterangan terbaru dari UGM mengatakan IPK Jokowi di atas 3).
Dia perkenalkan Kasmudjo dengan narasi seakan-akan pembimbing skripsinya dan belakangan Kasmudjo mengaku bukan pembimbing skripsinya. Cobalah kita simak kata-kata Jokowi Ketika memperkenalkan Kasmudjo beberapa tahun lalu:
"Yang pertama saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada dosen pembimbing saya Bapak Kasmudjo. Beliau dulu waktu membimbing saya, seingat saya galak sekali,".
Siapapun yang mendengar kalimat seperti ini niscaya berpikir Kasmudjo itu pembimbing skripsi. Apakah ini jebakan-jebakan yang sengaja dia tebar agar orang-orang terpancing menelusuri dan mempersoalkan latar belakang akademiknya di kemudian hari? Kita tidak tahu kebenaran sesungguhnya.
Apakah ini isu yang disengaja diorkestrasi kubu Jokowi? Sulit memastikan kebenarannya. Tapi persoalan ini juga bisa kita lihat sebagai artikulasi kebencian dan jalan pelampiasan  dendam dari orang-orang yang membenci Jokowi. Sepertinya para pembenci ini ada 2 klaster. Pertama, orang-orang yang sejak dulu memang membenci Jokowi. Mereka ini berada dalam barisan Prabowo dalam persaingan sengit 2 periode Pilpres yang lalu (2014 dan 2019).