Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Freelancer

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komite Sekolah: Dari Harapan Partisipasi Menjadi Sumber Masalah--Saatnya Kita Bicara Penghapusan

23 Mei 2025   12:14 Diperbarui: 23 Mei 2025   12:14 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Sekolah (Sumber: kompas.com/Junaedi)

Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, komite sekolah awalnya dirancang sebagai wujud demokratisasi pendidikan. Ia lahir dari semangat partisipasi publik, transparansi anggaran, dan keterlibatan warga dalam pembangunan sekolah. Namun seperti banyak niat baik di negeri ini, dalam praktik, niat itu membentur dinding realitas yang tidak selalu sejalan dengan idealisme.

Saya tinggal di Parung Panjang, sebuah kecamatan yang tengah tumbuh dengan cepat, namun diwarnai dengan berbagai persoalan tata kelola publik, salah satunya di sektor pendidikan. Di sinilah saya menyaksikan langsung bagaimana komite sekolah---yang seharusnya menjadi representasi masyarakat---malah menjelma menjadi sumber kegelisahan, bahkan kecurigaan warga.

Ide Baik yang Salah Kelola

Komite sekolah dibentuk berdasarkan Permendikbud No. 75 Tahun 2016. Dalam aturan tersebut, komite punya empat peran utama: pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan mediator. Tujuannya mulia: memperkuat sinergi antara orang tua, masyarakat, dan penyelenggara pendidikan.

Namun di Parung Panjang, realitasnya sering kali menyimpang. Komite sekolah kerap menjadi pintu masuk praktik pungutan liar berkedok sumbangan. Banyak warga menceritakan, dengan nada getir, bahwa anak-anak mereka bisa "dipermudah" masuk sekolah tertentu---asal ada "bantuan ke komite." Jumlahnya bisa jutaan rupiah. Tidak heran jika istilah "komite" di sini sudah menjadi semacam eufemisme untuk membenarkan praktik-praktik gelap yang tak lagi bisa disebut partisipatif.

Yang lebih ironis, dalam banyak kasus, komite tidak pernah memberikan laporan transparan tentang penggunaan dana yang dikumpulkan dari orang tua murid. Tidak ada rapat terbuka, tidak ada publikasi keuangan, dan tidak ada ruang dialog. Para orang tua hanya tahu bahwa mereka "harus bayar"---entah untuk kegiatan ekstrakurikuler, perpisahan, seragam, atau fasilitas lain yang kabarnya "tidak ditanggung oleh pemerintah." Semua lewat komite. Tapi siapa anggota komite itu? Siapa yang memilih mereka? Apa dasar pengangkatan mereka? Tidak ada yang benar-benar tahu.

Penyelewengan Dana PIP: Kolusi yang Menyakiti Kaum Miskin

Yang lebih memilukan, komite sekolah di sejumlah sekolah negeri di Parung Panjang bahkan diduga terlibat dalam praktik penyelewengan dana Program Indonesia Pintar (PIP)---bantuan tunai dari negara yang diperuntukkan bagi siswa dari keluarga miskin.

Beberapa orang tua murid menceritakan bahwa pencairan dana PIP tidak dilakukan secara transparan. Ada yang tidak tahu bahwa anaknya terdaftar sebagai penerima bantuan, ada pula yang tidak pernah menerima dana meski namanya tercantum di daftar penerima. Dalam kasus-kasus ini, peran komite sekolah ternyata bukan sebagai pengawas, melainkan kolaborator. Mereka bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memotong, menahan, bahkan mengelola dana PIP tanpa sepengetahuan penerima manfaat.

Ini bukan sekadar maladministrasi. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat dan pelanggaran terhadap amanat konstitusi yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, khususnya yang tidak mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun