Sebelum genap berusia 30 sebagian besar dari kita mungkin tidak pernah benar-benar memikirkan soal pensiun. Itu juga yang saya alami sebagai seorang freelancer. Hidup terus berjalan begitu saja. Yang penting cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari dan masih ada sisa untuk membantu keluarga serta sedikit tabungan.  Di pikiran saya cuma 1:  bagaimana caranya tetap produktif meskipun proyek kerja datang dan pergi tanpa kepastian. Saya bekerja sebagai freelancer. Tidak punya kantor tetap, tidak dapat jaminan pensiun dari perusahaan, dan tidak secara otomatis terdaftar dalam skema BPJS Ketenagakerjaan. Semuanya harus diusahakan sendiri.
Awalnya saya merasa wajar saja. Toh masih muda, toh masih kuat. Tapi satu momen mengubah cara pandang saya: ketika saya melihat seorang senior yang satu almamater dengan saya  yang kini telah pensiun, dan harus menggantungkan hidupnya pada anak-anaknya. Dia tidak memiliki dana pensiun. Bekerja berpindah-pindah sebagai karyawan kontrak, hidup pas-pasan, dan tidak sempat menyisihkan penghasilan untuk masa tua. Kini, hidupnya ditopang anak-anaknya. Saya yakin anak-anaknya tentu tidak merasa keberatan. Tapi jauh di dalam hati, saya bertanya pada diri sendiri: apakah saya ingin masa tua saya seperti itu?
Pertanyaan itu menghantui saya beberapa minggu, hingga akhirnya saya mulai mencari tahu. Saya pelajari sedikit demi sedikit apa itu dana pensiun. Ternyata, dana pensiun bukan sekadar simpanan di bank. Bukan pula uang yang tiba-tiba muncul saat kita berhenti bekerja. Dana pensiun adalah hasil dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten. Saya mulai sadar bahwa menabung saja tidak cukup. Kita tidak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayang inflasi. Harga-harga akan terus naik, dan tabungan bisa habis hanya untuk bertahan hidup beberapa bulan saja.
Dari situ, saya mulai mengenal produk-produk keuangan lain. Reksa dana, deposito berjangka, bahkan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) yang kini bisa diakses lewat aplikasi di ponsel. Jumlahnya tidak perlu besar. Seratus ribu rupiah pun bisa jadi awal. Saya mulai buka rekening khusus dana pensiun, yang saya pisahkan dari rekening utama. Saya aktifkan fitur autodebit agar uang itu langsung "disembunyikan" begitu gaji masuk. Saya juga mulai ikut komunitas finansial, karena ternyata semangat untuk menyiapkan masa depan jauh lebih mudah tumbuh kalau ada teman seperjalanan.
Sebagai freelancer, saya sadar betul bahwa yang paling menantang adalah menjaga konsistensi. Karena tidak ada gaji tetap, maka tidak ada jaminan bahwa bulan depan saya bisa menyisihkan jumlah yang sama. Tapi justru karena itu, saya tahu bahwa perencanaan jangka panjang adalah kebutuhan, bukan kemewahan. Setiap rupiah yang disimpan hari ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri saya di masa depan.
Yang paling sulit justru bukan soal teknis, tapi soal disiplin. Menolak ajakan nongkrong, menunda beli barang baru, atau menahan diri dari impuls belanja online. Tapi setiap kali saya tergoda, saya ingat kembali wajah senior saya tadi---dan cita-cita saya untuk tidak mengulang nasib yang sama. Saya ingin tua dengan martabat. Saya ingin tetap mandiri, tidak menyusahkan anak-anak saya nanti. Dan semua itu harus dimulai dari sekarang, dari hal kecil, dari keberanian untuk memikirkan masa tua walau usia masih muda.
Pensiun, ternyata, bukan soal umur. Tapi soal arah. Kita semua akan tua. Yang membedakan hanya: apakah kita sampai di sana dengan persiapan atau dengan penyesalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI