Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Politik Perlu Belajar Demokrasi dari NU

24 Desember 2021   20:38 Diperbarui: 24 Desember 2021   20:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tankapan layar KH Yahya Cholil Staquf berpelukan dengan KH Said Aqil (Sumber: Youtube Kompas TV)

Ada momen mengharukan di penghujung mukmatar NU ke-34 yang dihelat di Lampung. Tidak lama setelah perhitungan suara pemilihan rampung, ketua umum terpilih (KH Yahya Cholil Staquf)berpelukan dengan KH Said Aqil yang berstatus pesaing inkumben dalam pemilihan tersebut. Bahkan Gus Yahya terlebih dahulu mencium tangan KH Said Aqil di hapadan para wartawan dan hadirin peserta mukmatar.

Ketika menyaksikan momen mengharukan tersebut melalui Kompas TV, ada kebanggaan dalam hati bahwa kedewasaan berdemokrasi masih bisa ditunjukkan secara nyata di negeri ini. Tapi sejurus kemudian, muncul pertanyaan dalam hati mengapa partai-partai politik di Indonesia yang sering mendaku sebagai pilar demokrasi justru sering gagal menunjukkan kedewasaan seperti itu.

Dari berbagai media kita tahu bahwa proses pemilihan ketua umum NU kali ini tidak kalah "panas" dan menegangkan dari pemilihan ketua partai politik. Tetapi melihat kedewasaan para kontestan menerima hasil pemilihan, kita yakin bahwa persaingan beraroma panas tersebut hanyalah bagian dari dinamika demokrasi. Tak lama setelah pembacaan hasil pemilihan, KH Said Aqil sendiri mengakui hal tersebut.

Dalam pernyataan perdana setelah memastikan kalah dalam pemilihan tersebut sebagaimana disiarkan kanal Youtube TV NU, KH Said Aqil mengatakan: "Saya bersyukur kepada Allah bahwa mukmatar telah berjalan dengan baik, aman, tentram. Walaupun katanya sebelumnya kira-kira agak panas, tetapi ternyata selesai dengan damai, nyaman dan ketawa".

Kata-kata menyejukkan dari KH Said Aqil tersebut membenarkan keyakinan banyak orang selama ini bahwa di NU semua gegeran segera akan berubah menjadi guyonan. Selanjutnya mantan ketua NU selama dua periode tersebut mengajak semua Nahdliyin bersatu membesarkan NU. "Apa yang terjadi kemarin mari kita lupakan. Mari bersama-sama bergandengan tangan membesarkan Nahdlatul Ulama" ajak KH Said Aqil.

Ketua umum terpilih dalam pidato perdananya juga menyinggung situasi gegeran yang segera berubah menjadi guyonan tersebut. "Orang dari luar bisa mungkin merasa kahwatir melihat panasnya suasana. Tetapi para pelaku di dalamnya justru keasyikan. Merasak asyik dengan pergulatan yang dilakukan"  kata ketua umum baru yang akrab disapa Gus Yahya tersebut sebagaiman disiarkan Youtube TV NU.

Sekalipun NU sangat kental dengan suasana kekeluargaan sebagaimana tergambar dalam komentar dua kontestan tersebut, NU justru lebih mampu menunjukkan diri sebagai organisasi modern yang dijalankan secara demokratis. Keterpilihan Gus Yahya menjadi ketua umum baru menunjukkan bahwa di NU regenerasi kepemimpinan berjalan dengan baik. Ini adalah poin penting dalam demokrasi yang mandek dalam beberapa partai politik di Indonesia.

Kalau sebagian partai cederung menunjukkan kontestasi  berujung dengan keterbelahan akibat kurangnya kedewasaan dalam berdemokrasi, partai lain justru tidak pernah mengalami konstestasi sama sekali. Maka demokrasi kepemimpinan hanya pemanis belaka karena kepemimpinan sudah menjadi hak prerogatif segelintir elit puncak partai.

Di beberapa partai pemilihan ketua umum hanya formalitas belaka. Hasilnya sudah bisa ditebak jauh-jauh hari. Meminjam bahasa gaul kaum milenial, hasilnya tidak pernah meleset dari DL Kuadrat: Dia lagi, Dia Lagi. Karena itu, kaum milenial suka membuat anekdot tentang betapa tidak canggihnya metode quick count sekarang ini karena hanya bisa memprediksi pemenang beberapa jam setelah pemilihan. "Di partai politik lebih canggih, satu bulan sebelum pemilihan ketua umum sudah diketahui siapa pemenangnya" guyon salah seorang milenial di media sosial pada musim Pilkada lalu.

Anekdot sederhana tersebut hanyalah upaya mengimbangi kegemaran kaum Nadliyin berguyon dalam suasana kekeluargaan tanpa mengurangi pesan utama dari artikel ini: Ucapan selamat mengemban amanah kepada KH Yahya Cholil Staquf. Semoga beliau bisa memimpin NU untuk terus menjadi teladan berdemokrasi di negeri ini, termasuk bagi partai-partai politik yang sering mendaku sebagai pilar demokrasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun