Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kejanggalan Kasus Kartu Prakerja Fiktif

4 Desember 2021   20:50 Diperbarui: 5 Desember 2021   05:18 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi (kompas.com)

Hari ini media-media besar memberitakan penangkapan sindikat pembuat kartu prakerja fiktif yang berhasil meraup untung 18 Milyar.Kompas TV mengutip keterangan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar bahwa sindikat tersebut membobol website Ducapil untuk mendapatkan data-data warga kemudian dipadukan dengan data-data yang mereka beli dari pasar gelap medsos. Berbekal data-data tersebut mereka membuat kartu prakerja fiktif.

Tapi tidak ada keterangan lebih lanjut bagaimana sindikat tersebut membuat ratusan akun Bank atau akun dompet digital untuk mencairkan insentif dari kartu prakterja yang berhasil mereka daftarkan. Keterangan tentang ini juga tidak dapat kita temukan di media-media lain.

Besaran insentif kartu prakerja adalah Rp.2,4 juta yang dicairkan secara bertahap (Rp. 600 ribu / bulan). Dalam berita disebutkan bahwa sindikat tersebut berhasil meraup untung Rp.1,8 milyar. Artinya sindikat tersebut telah berhasil mencairkan insentif dari paling sedikit 750 kartu prakerja.  Untuk itu mereka tentu membutuhkan minimal  750 akun Bank atau akun dompet digital palsu. Inilah yang sulit dipahami, karena kita tahu prosedur pembuatan akun Bank atau akun dompet digital premium tergolong ketat dan hampir mustahil dipalsukan dalam jumlah besar.

Prakerja mewajibkan peserta memiliki akun Bank (BNI) atas nama sendiri (tidak bisa atas nama orang lain) atau memiliki akun dompet digital (OVO atau Gopay) yang sudah di-upgrade ke premium agar bisa mencairkan insentif setelah menyelesaikan pelatihan. Kewajiban inilah yang membuat  pemalsu sangat sulit mencairkan dana dari kartu prakerja apalagi dalam jumlah besar.

Jika pendafataran peserta prakerja fiktif dapat dijelaskan melalui pembobolan Website Ducapil, tidak demikian dengan pembuatan akun Bank atau dompet digital. Pembuatan akun Bank mewajibkan kehadiran calon nasabah. Kalaupun dibuat secara online, Bank menggunakan foto hasil selfie calon nasabah secara real time (foto tidak diambil dari file).

Biasanya calon nasabah diminta melakukan selfie secara realtime sebanyak dua kali. Pertama  selfie tanpa KTP atau kartu identitas lain, kemudian selfie sambil memegang KTP atau kartu identitas lainnya. Jadi foto wajah nasabah dan foto KTP mesti real time, bukan diambil dari file gadget atau komputer. 

Demikian juga dengan dompet digital. OVO dan Gopay yang merupakan mitra Prakerja mewajibkan peserta untuk meng-upgrade akun mereka ke premium. Prosesnya kurang lebih sama dengan pembuatan akun Bank secara online yang melibatkan selfie secara real time.

Tahap akhir setelah semua itu berhasil dilakukan, peserta akan diminta menyambungkan akun Bank atau dompet digitalnya ke Prakerja. Pada tahap itu ada proses verifikasi kesesuai data-data yang dimiliki Prakerja dengan data yang diberikan oleh Bank atau operatur dompet digital.

Jika para sindikat tersebut juga ternyata berhasil mengakali prosedur foto realtime yang diwajibkan oleh Bank atau dompet digital, kita layak mempertanyakan keamanan teknologi finansial di negeri ini. Apalagi jika ternyata mereka berhasil juga membobol Web operator teknologi finansial sehingga bisa membuat akun-akun tanpa proses pendaftaran yang sesuai prosedur, kita akan lebih heran lagi.

Pada bulan Oktober lalu juga muncul berita penangkapan sindikat pemalsu kartu prakerja di Belawan yang berhasil meraup untung Rp.75 juta. Hingga sekarang belum ada update berita  dari kasus tersebut padahal banyak orang pemanasaran bagaimana sindikat tersebut mengakali pembuatan akun Bank atau dompet digital palsu untuk mencairkan insentif dari kartu prakerja.

Dengan memahami mekanisme pembuatan akun Bank dan dompet digital primium yang ketat, satu-satunya kecurangan yang paling logis  dilakukan secara masif di kartu prakerja adalah praktek joki. Topik tentang joki ini sempat viral tahun lalu. Tapi sesungguhnya praktek ini juga tidak seluruh dapat dikatakan kecurangan karena para joki hanya membantu warga yang kesulitan mengoperasikan teknologi digital untuk mendaftar ke prakerja, kemudian mendapatkan balas jasa dari peserta prakerja yang berhasil mendapatkan insentif. Ini sungguh berbeda dari kasus prakerja fiktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun