Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Era Reformasi Rasa Orde Baru, Darurat Demokrasi

1 September 2021   17:31 Diperbarui: 1 September 2021   17:32 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi (Kompas.com)

Di sebuah grup WhatApp alumni seorang teman meng-upload vidio cuplikan lagu Iwan Fals berjudul "Surat Buat Wakil Rakyat" beberapa hari lalu. Dia hendak menanggapi secara sinis  berita-berita yang dikirimkan teman-teman lain tentang bergabungnya PAN (Partai Amanat Nasional) ke kubu pemerintah. Maka dia memberi caption vidio tersebut dengan potongan syair lagu Iwan Fals "....wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju". Penggalan syair lagu itu sesungguhnya lebih menggambarkan keadaan DPR di masa Orde Baru.

Dengan bergabungnya PAN, praktis DPR ke depan akan semakin mudah diarahkan pemerintah menjadi sekedar "tukang stempel" tanda setuju, karena 81,91 % atau 471 dari 575 kursi DPR telah dikuasai kubu pemerintah. Sulit mengharapkan akan berjalannya fungsi check and balance dari DPR dengan kekuatan oposisi tidak sampai 20 %, persisnya hanya 103 kursi. Situasi ini mengingatkan kita pada pola pemerintahan Orde Baru di mana kubu oposisi terus diupayakan sekecil dan selemah mungkin hingga hanya bisa berfungsi sebagai formalitas belaka.

Cara-cara yang ditempuh pemerintah untuk memperbesar koalisi (memperbesar kekuasaan) sangat mirip dengan cara-cara Orde Baru. Kita tahu beberapa partai sebelumnya mengalami konflik internal ketika masih berada di luar pemerintahan, di antaranya adalah PPP dan Golkar. Keduanya kemudian bergabung dengan pemerintah dan konflikpun berakhir sehingga sulit menepis dugaan adanya peran penguasa dalam konflik kedua partai tersebut.

Intrik-intrik menundukkan partai oposisi melalui konflik internal semakin terang benderang dalam upaya "kudeta" kepemimpinan yang dialami Partai Demokrat beberapa bulan lalu. Konflik Partai Demokrat sangat khas Orde Baru. Kini masyarakat berharap semoga Partai Demokrat tidak berakhir seperti PPP dan Golkar yang akhirnya bergabung dengan kubu pemerintah demi stabilitas partai.

Darurat Demokrasi

Semakin kecil kontrol, semakin besar kekuasaan dan akan semakin besar godaan untuk melakukan penyelewenangan sebagaimana diisyaratkan dalam pameo Lord Acton yang barangkali telah dianggap klise tapi kebenarannya selalu terbukti dari waktu ke waktu: power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. 

Maka kita sekarang menyaksikan semakin merosotnya demokrasi Indonesia hampir dalam segala sisi sebagaimana ditegaskan baru-baru ini oleh 100 ilmuwan sosial politik dari berbagai negara dalam buku Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia (LP3ES, 2021). 

Membaca pandangan-pandangan para ilmuwan penyusun buku tersebut, cukup masuk akal menagatakan bahwa demokrasi Indonesia telah merosot hingga ke tahap darurat karena telah menyasar jaminan hidup masyarakat kecil dan kebebasan berekspresi.  Maka kita dapat memahami mengapa The Economist Intellegence Unit (EIU) mencatat penurunan skor demokrasi Indonesia selama 3 tahun berturut-turut hingga kini berada dalam skor terendah dalam 14 tahun terakhir (kompas.com, 12/02/21).

Implikasi lebih nyata dari penurunan kualitas demokrasi terhadap penurunan kualitas kinerja penguasa (pemerintah) terlihat dari cara penanganan pandemi di Indonesia. Markus Mietzer dalam artikelnya di Jurnal of Current Southeast Asian Affairs (2020) mencatat kecenderungan pemerintahan Jokowi untuk lebih mengedepankan pendekatan-pendekatan populis dalam menangani pandemi Covid-19, alih-alih serius menerapkan langkah-langkah lebih efektif dengan dasar pertimbangan sains. 

Hasilnya, pengelolaan data menjadi kacau dan target-target bombastis yang sering dilontarkan pemerintah lebih sering tak tercapai. Kasus terbaru, data kematian sempat dihilangkan dari rilis data Covid-19 karena buruknya pengelolaan data di Indonesia. Target vaksinasi masih jauh dari target.

Penanganan Covid-19 yang tak maksimal di Indonesia menurut Mietzer adalah implikasi dari penurunan kualitas demokrasi, terbukti dari sikap-sikap pemerintah yang sangat reaktif bahkan sering juga represif terhadap kritik tentang penanganan pandemi, masih ditemukannya kasus-kasus korupsi dana penanganan pandemi di Indonesia dan aneka persoalan lain yang mebuat Indonesia tidak memiliki road mad yang jelas bagaimana keluar dari krisis akibat pandemi ini. Mietzer menggunakan istilah "aktor-aktor anti- demokrasi" untuk merujuk pejabat-pejabat yang lebih mengedepankan populisme, konservatisme agama dan keputusan-keputusan anti-sains dalam penanganan pandemi Covid-19.

Koalisi Masyarakat Sipil

Kualitas demokrasi di Indonesia yang semakin merosot membuka memori banyak orang akan situasi masa Orde Baru di mana partai oposisi hanya berfungsi sebagai pelengkap formal karena terus menerus mengalami pelemahan, kebebasan sipil dikekang melalui aparat yang represif menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang, hukum yang tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah dan ketimpangan ekonomi yang semakin besar antara masyarakat bawah dengan segelitir elit. 

Kepastian bergabungnya PAN baru-baru ini ke kubu pemerintah dicurigai banyak ahli akan membuat penguasa lebih percaya diri dan lebih leluasa untuk mengembalikan beberapa sistem lama dari masa Orde Baru kembali berlaku di era Reformasi sekarang ini melalui amandemen UUD. Upaya itu hanya bisa dicegah jika masyarakat sipil dapat menyatukan kekuatan dengan elemen-elemen politik di luar kekuasaan untuk melakukan perlawanan.

Kita tahu, otoritarianisme Orde Baru dapat diakhiri karena kekuatan-kekuatan masyarakat sipil bersatu dengan kekuatan-kekuatan politik di luar kekuasaan. Tidak menutup kemungkinan, pola serupa mesti kita ulangi jika penguasa terus menerus bertindak sebagai aktor-aktor anti-demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun