Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Para Pemuda Kritis di Desa, Secercah Harapan terhadap Demokrasi di Era Digital

9 Januari 2020   07:37 Diperbarui: 9 Januari 2020   07:39 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar grup diskusi di Facebook penduduk Desa Aekraja, Tapanuli Utara (Dok. Pribadi)

Satu-satunya alasan yang membuat Facebook tetap menarik akhir-akhir ini (sekurang-kurangnya bagi penulis) adalah munculnya generasi-generasi yang relatif kritis dari berbagai desa di Indonesia. Menarik mengamati bagaimana anak-anak muda di desa dengan percaya diri mengusung nama desa mereka dalam grup-grup diskusi di Facebook.

Topik pembicaraan di grup-grup tersebut sangat beragam. Mulai dari lelucon anak desa, nostalgia masa lalu, hingga ke topik yang lebih serius yakni menyoroti pembangunan di desa mereka secara kritis. 

Sebagian pemuda asyik membuat permainan sandiwara yang memparodikan kinerja buruk pemerintahan desa. Drama sederhana itu kemudian direkam dan di-share di grup.

Sebagian lain gemar berbagi pengetahuan, tepatnya link-link portal online yang mengulas berbagai perangkat aturan tentang desa dan juga penjelasan tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa dijalankan.

Beberapa gemar membagikan informasi tentang kegiatan desa dengan ajakan untuk terlibat di dalamnya. Yang paling menarik dari semua ini adalah mengamati kolom-kolom komentar yang penuh pernyataan-pernyataan kritis.

Di tengah tingginya sorotan terhadap dampak negatif internet yang lebih banyak menghasilkan kebisingan tak bermamfaat, kemunculan grup-grup diskusi di dunia maya oleh para pemuda desa yang sering menyuarakan sikap-sikap kritis tersebut cukup membesarkan hati. Sorotan kritis mereka tentulah belum sedalam para aktivis di kota-kota besar. Data-data yang mereka gunakan juga tidak selalu valid.

Akan tetapi, persoalan yang mereka kemukakan terasa jauh lebih riil dari topik-topik yang sering dibahas para aktivis elit, yakni menyangkut pengelolaan desa yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka.

Pada titik ini cukup beralasan menumbuhkan optimisme bahwa masyarakat kritis  di akar rumput (grassroot) dapat menjadi tumpuan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi secara lebih nyata, bukan semata berkutat pada konsep teori, jargon dan gagasan-gagasan besar.

Ketika angin demokrasi berembus kembali di Indonesia kurang lebih 20 tahun lalu, muncul harapan besar terhadap kaum terdidik dan kelas menengah sebagai lokomotif yang akan medorong dan mengawal pelaksanaan cita-cita Reformasi.

Tetapi dalam perjalanannya, mereka praktis gagal memenuhi harapan tersebut. Kelas menengah cenderung menjadi mitra para elit politik dan oligarki dalam mempertahankan kemapanan.

Demikian juga para intelektual, semakin elitis dalam pemikiran dan perjuangan hingga masyarakat semakin sulit menemukan kaitan pemikiran dan perjuangan mereka dengan persoalan-persoal riil  sehari-hari yang dihadapi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun