China, seperti kisah drama kolosal yang penuh plot twist, pernah berada dalam jurang ekonomi yang kelam, sunyi, dan penuh inflasi. Pada akhir 1970-an, setelah bertahun-tahun hidup dalam sistem ekonomi terpusat ala komunis murni, rakyat tidak hanya lapar ideologi, tapi juga lapar nasi. Mao telah tiada, revolusi budaya usai, tapi yang tertinggal adalah pasar yang lumpuh dan rakyat yang bingung dengan uang kertas yang nilainya seperti kertas pembungkus tahu. Sistem ekonomi moneter saat itu begitu rigid dan tertutup sehingga jika uang bisa bicara, ia mungkin akan minta suaka ke negara tetangga.
Dunia pun menyaksikan bagaimana Deng Xiaoping datang dengan senyum pragmatisnya dan berkata, "Tidak masalah kucing itu hitam atau putih, selama bisa menangkap tikus." Dari situlah dimulai reformasi ekonomi, dengan dibukanya Zona Ekonomi Khusus di Shenzhen yang pada awalnya terlihat seperti eksperimen nyeleneh. Negara komunis yang tiba-tiba menggoda kapitalisme? Banyak yang tertawa hingga grafik GDP menunjukkan sebaliknya.
China mulai menyusun ulang sistem moneter dan fiskalnya secara serius. Dari sistem tertutup, mereka mulai belajar tentang stabilisasi inflasi, bunga, investasi, dan yang tidak kalah penting, bagaimana menarik investor asing tanpa kehilangan muka ideologis. Kebijakan moneter dikombinasikan dengan kontrol nilai tukar yang terukur dan kontrol modal yang cerdik. Yuan tetap dikendalikan dengan erat, tapi cukup fleksibel untuk ikut pesta pasar global.
Kemudian datanglah tahun 1997 sebagai krisis moneter Asia. Negara-negara Asia Tenggara berguguran seperti domino karena ulah pasar valuta asing yang mengamuk. Tapi entah bagaimana, China tetap berdiri sambil menyesap tehnya, santai namun waspada. Kunci mereka? Tidak terlalu tergoda pada liberalisasi finansial berlebihan dan sedikit otoriter, tapi cukup bijak.
Sementara negara lain membiarkan mata uang mereka mengambang dan tenggelam, China memilih untuk menjaga yuan tetap stabil terhadap dolar. Hal ini membuat investor melihat China sebagai jangkar ketenangan di lautan Asia yang bergelora. Bukannya tanpa korban, namun stabilitas itu menciptakan kepercayaan akan sesuatu yang jauh lebih berharga dari cadangan devisa semata.
Tahun 2001 menjadi titik balik besar dimana China memasuki ranah WTO. Dunia bersorak, atau mungkin mulai khawatir, karena sang raksasa tidur akhirnya bangun, melakukan pemanasan, dan langsung sprint. Produk China mulai membanjiri dunia, dari sepeda sampai superkomputer, dari kaos kaki sampai kereta cepat.
Namun tidak semua berjalan mulus. Tahun 2015, China kembali diuji dengan krisis pasar saham domestik, gelembung yang ditiup terlalu keras oleh kredit margin dan euforia rakyat. Ketika meledak, semua panik, dan pemerintah harus turun tangan dengan cara yang bisa dibilang tidak konvensional. Mereka memborong saham, melarang penjualan, bahkan mengontrol opini publik dan menjadi drama finansial yang setara dengan Three Kingdom.
Namun anehnya, pendekatan semi-otoriter itu justru berhasil menenangkan kekacauan. Pasar saham tidak kolaps total, dan sistem moneter tetap bertahan dengan hanya sedikit lecet. Dunia barat mungkin mencibir metode ini, namun diam-diam mencatat bagaimana cara China ini bisa jadi "alternatif berani" untuk menyelamatkan pasar. Sekali lagi, kucing hitam maupun putih asalkan dapat menangkap tikus, menjadi landasan bagaimana ekonomi tetap hidup.
Selama dua dekade terakhir, China juga serius melakukan internasionalisasi yuan. Mulai dari inisiatif Belt and Road sampai kerjasama keuangan dengan negara-negara Selatan Global, mereka mendorong yuan sebagai mata uang perdagangan alternatif. Walau belum bisa menyaingi dolar, yuan kini hadir di meja perundingan global, tidak lagi duduk di kursi penonton. China paham bahwa dominasi ekonomi bukan hanya soal produksi, tapi juga soal siapa yang mengatur standar.
Dalam ranah teknologi finansial, China juga melaju cepat. Penggunaan e-wallet seperti Alipay dan WeChat Pay bahkan jauh melampaui negara-negara Barat. Di saat beberapa negara masih debat soal cashless society, China sudah jadi "cashless by habit," bahkan tukang sayur pun menerima QR code. Transformasi ini didorong oleh koordinasi antara bank sentral, pelaku pasar, dan tentu saja dukungan negara.
Peran Bank Sentral China (PBOC) sangat sentral dalam menjaga kestabilan dan reformasi moneter. Mereka tidak hanya mengatur suku bunga, tapi juga aktif memainkan instrumen makroprudensial. Ketika risiko membesar, PBOC hadir bukan hanya dengan bunga acuan, tapi juga moral suasion dan kebijakan mikro penuh nuansa. Mungkin agak otoritatif, tapi siapa yang peduli jika sistem tetap berjalan?