Di tengah hiruk pikuk globalisasi, siapa yang tidak pernah mendengar keluhan tentang tarif? Banyak orang menganggap tarif sebagai biang kerok naiknya harga, berkurangnya pilihan produk, hingga penyebab perang dagang antarnegara. Namun, seperti banyak hal lain dalam hidup, tarif sebenarnya lebih kompleks daripada sekadar sosok buruk rupa dalam kisah perdagangan dunia.
Secara sederhana, tarif adalah pajak yang dikenakan pada barang yang melintasi batas negara, entah saat masuk (impor) atau keluar (ekspor). Tujuannya pun tidak hanya untuk memungut penerimaan negara, tetapi juga untuk melindungi produsen dalam negeri, menjaga lapangan kerja, serta menunjukkan posisi tawar dalam negosiasi dagang. Tentu saja, semua ini dilakukan dengan niat mulia, setidaknya dalam narasi resminya.
Isu tentang tarif paling panas dalam dekade ini tidak jauh dari era pemerintahan Donald Trump. Kebijakan tarifnya terhadap Tiongkok, yang katanya bertujuan memperbaiki defisit perdagangan Amerika, justru memicu perang dagang yang membuat banyak ekonom mengernyitkan dahi. Ironisnya, walau dicap merusak, beberapa sektor dalam negeri Amerika justru menikmati keuntungan yang tidak terduga dari kebijakan ini.
Mari kita pikirkan ini baik-baik, tarif memang membuat harga barang impor lebih mahal, tetapi itu justru membuka peluang bagi produsen lokal untuk bersinar. Ketika produk dari luar negeri menjadi lebih mahal, konsumen yang awalnya tergoda brand asing kini beralih ke produk lokal. Ini seperti memaksa anak muda mencintai tempe lokal setelah burger cepat saji harga internasional menjadi di luar jangkauan.
Contoh nyata lainnya dapat kita lihat dalam industri baja di Amerika Serikat. Ketika Trump memberlakukan tarif terhadap baja impor, perusahaan-perusahaan baja lokal yang hampir sekarat mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Harga memang naik, tetapi pabrik-pabrik yang tadinya hampir tutup mulai membuka kembali lapangan pekerjaan. Boleh jadi ini semacam terapi kejut ekonomi, meski pasiennya sempat mengaduh keras saat disuntik.
Kasus lain datang dari India pada tahun 2018, saat negara tersebut menaikkan tarif untuk produk elektronik impor seperti smartphone dan televisi. Banyak konsumen mengeluh karena harga gadget impian mereka melonjak tinggi. Namun, langkah ini justru mempercepat tumbuhnya industri manufaktur dalam negeri seperti inisiatif Make in India, yang kini mulai menarik perhatian global.
Contoh ketiga muncul dari Uni Eropa, yang dengan tenang memberlakukan tarif terhadap produk agrikultur dari Amerika sebagai balasan atas subsidi Boeing. Hasilnya cukup menarik, karena petani lokal Eropa menikmati kenaikan permintaan terhadap produk mereka sendiri. Betapa manisnya hasil dari balas dendam diplomatik dalam wujud keju dan anggur lokal yang kini lebih diminati.
Dari ketiga contoh ini, tampak jelas bahwa tarif tidak serta-merta adalah hukuman mati bagi pasar global. Memang ada korban jangka pendek seperti konsumen yang harus membayar lebih mahal. Namun, dalam jangka panjang, industri dalam negeri bisa menjadi lebih kompetitif dan mandiri, layaknya anak kos yang akhirnya belajar memasak setelah uang kiriman terpotong drastis.
Di sisi lain, tarif juga memiliki fungsi strategis yang sering diremehkan oleh opini publik. Negara menggunakan tarif sebagai alat negosiasi dalam diplomasi ekonomi, semacam senjata tanpa peluru yang cukup elegan. Jika digunakan dengan bijak, tarif bisa menjadi cara efektif untuk mendorong perubahan kebijakan di negara lain tanpa harus menurunkan armada militer.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa tarif juga harus dikelola dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Jika diterapkan terlalu sembrono, bisa berujung pada ketidakstabilan ekonomi domestik maupun internasional. Namun, hampir semua instrumen kebijakan besar membawa risiko serupa jika jatuh ke tangan yang salah.
Ada satu hal penting yang perlu dicatat, yakni persepsi negatif terhadap tarif sering diperkuat oleh media dan lobi korporasi multinasional. Logis saja, karena bagi perusahaan global besar, tarif adalah batu sandungan di jalan tol laba mereka yang biasanya lancar. Mereka tentu berusaha meyakinkan kita bahwa tanpa tarif dunia akan lebih bahagia, setidaknya bagi rekening bank mereka.