Globalisasi membawa dampak besar terhadap dunia pasar, lebih dari sekadar mempercepat aliran barang.
Kini, informasi dan tren bergerak lebih cepat daripada kapal dagang abad ke-17, berkat media global.
Tidak lagi dibutuhkan peperangan atau kolonisasi fisik untuk menguasai pasar dunia seperti dulu.
Cukup satu viral video atau satu cuitan sensasional, harga bisa melambung atau terjun bebas.
Peran media dalam pasar global kini tak ubahnya seperti juru bicara tak resmi perekonomian dunia.
Berita keuangan, tren konsumsi, hingga rumor selebritas bisa menentukan nasib komoditas dan saham.
Barang jadi, setengah jadi, bahkan produk virtual seperti bitcoin semua tunduk pada ritme informasi ini.
Pasar seolah tidak lagi rasional, tetapi lebih mirip arena emosional massal yang dipandu algoritma.
Di zaman globalisasi ini, informasi bergerak dalam kecepatan cahaya, namun nalar kadang tertinggal di bandara.
Media sosial mempercepat fenomena hype dan panic selling seperti seseorang yang lapar mata di mall diskon.
Saham perusahaan bisa naik hanya karena CEO-nya berkedip lucu di Instagram dalam semalam.
Bitcoin? Sering kali nilainya naik turun lebih karena meme aneh ketimbang analisis fundamental.
Kita bisa menyebut fenomena ini sebagai "pasar berbasis histeria", warisan indah dari globalisasi informasi.
Sarkasmenya, globalisasi berhasil memperpendek jarak dunia sambil memperbesar ruang kebingungan kolektif.
Satu berita palsu tentang kelangkaan chip semikonduktor, dan harga ponsel melonjak secepat roket.
Bahkan, seorang influencer TikTok bisa lebih efektif menggerakkan pasar dibanding menteri perdagangan.
Media modern memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi pasar melalui framing dan agenda setting.
Teori McCombs dan Shaw (1972) tentang agenda-setting menjadi nyata saat media menentukan apa yang penting.
Pasar tidak lagi hanya bereaksi terhadap realita objektif, tetapi terhadap persepsi kolektif yang dibentuk media.
Persepsi itu lalu menjadi kenyataan baru, meskipun kadang lebih absurd dari novel surealis.
Dalam konteks globalisasi, media tidak bekerja sendirian; ada aktor lain yang berperan seperti maestro orkestra.
Platform algoritmik seperti Google dan Facebook mengatur informasi mana yang muncul pertama di layar kita.
Mereka tidak hanya menampilkan dunia, tapi juga memfilter dunia agar sesuai dengan selera klik dan iklan.
Maka, pasar kita sebenarnya bukan lagi pasar bebas, tapi pasar berbasis "siapa yang membayar lebih mahal."
Media global dengan lihainya mengatur ritme kebutuhan konsumen dengan menciptakan tren seakan alami.
Barang-barang jadi, mulai dari sneakers hingga smartphone, mendadak menjadi kebutuhan primer yang sakral.
Barang setengah jadi seperti komponen PC juga naik daun karena wacana "DIY builder" yang dipromosikan online.
Pasar barang virtual pun lebih gila lagi, karena siapa sangka angka-angka dalam blockchain bisa jadi rebutan?
Bitcoin adalah contoh sempurna bagaimana media mengubah sesuatu yang tidak berwujud menjadi harta karun modern.
Nilai Bitcoin bukan hanya ditentukan oleh sistem desentralisasi, tapi juga oleh drama Twitter para miliarder.
Satu kata dari Elon Musk seperti "Doge" atau "Bitcoin bad" sudah cukup untuk membakar atau membekukan pasar.
Pasar kripto akhirnya lebih mirip arena sabung ayam virtual, dengan media sebagai juri sekaligus promotor.
Selain media, faktor lain seperti liberalisasi pasar, deregulasi finansial, dan inovasi teknologi juga berperan.
Liberalisasi mempercepat transfer modal lintas negara, membuka celah volatilitas berbasis rumor dan spekulasi.
Deregulasi membuat proteksi terhadap investor ritel semakin tipis seperti kulit martabak yang gagal.
Teknologi memperkenalkan perdagangan frekuensi tinggi (high-frequency trading) yang bereaksi pada berita milidetik.
Perdagangan global hari ini, dengan semua keanggunannya, sebenarnya berjalan seperti lomba rumor tercepat.
Keputusan investasi sering diambil bukan berdasarkan laporan keuangan, tapi berapa banyak likes di Twitter.
Sungguh indah melihat masa depan keuangan dunia dipertaruhkan di tangan akun meme anonim.
Ini semua berkat globalisasi yang mempertemukan pasar modal dengan kebiasaan doomscrolling manusia modern.
Media juga menciptakan narasi besar seperti "perubahan iklim" atau "krisis energi" yang mendorong perubahan pasar.
Bahan bakar fosil, misalnya, bisa mengalami kenaikan harga hanya karena laporan PBB yang viral semalaman.
Demikian juga harga pangan, bisa naik hanya karena satu laporan cuaca ekstrem dikabarkan berlebihan.
Media akhirnya bukan hanya melaporkan realitas, tapi juga menciptakan realitas yang harus dipertaruhkan di pasar.