Mohon tunggu...
Rio Ismail
Rio Ismail Mohon Tunggu... lainnya -

Rio Ismail (Suwiryo Ismail), lahir di Gorontalo dan menyelesaikan kuliah di FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi, Manado. Mengawali kiprah sebagai jurnalis di Manado pada awal 1985. Pada saat bersamaan juga menjadi aktivis di organisasi non pemerintah (Ornop) atau NGO di Lembaga Bantuan Hukum (LBH/YLBHI) Manado. Pernah menjadi Direktur LBH Manado, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Utara, anggota Dewan Nasional WALHI, dan Deputi Direktur Eksekutif Nasional WALHI. Pernah bergabung menjadi anggota Solidaritas Perempuan dan duduk di Dewan Pengawas Nasional Solidaritas Perempuan selama dua periode. Beberapa tahun terakhir mendirikan The Ecological Justice dan aktif melakukan advokasi dan pendidikan politik untuk isu lingkungan, hak azasi manusia, gender/feminis, korupsi dan money laundering, dan memantau arus pembiayaan internasional/MDB's yang berdampak pada perusakan lingkungan dan pelanggaran hak azasi. Disamping sebagai praktisi dan konsultan lepas untuk pengembangan strategi komunikasi dengan pendekatan integrated marketing communication (IMC) dan political marketing.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ke Mana Arah Kasus Reklamasi Teluk Jakarta?

4 April 2016   14:10 Diperbarui: 5 April 2016   11:21 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo by www.rmol.co"][/caption]Kasus suap anggota DPRD Jakarta dari Partai Gerindra, Muhamad Sanusi, tentu hanya salah satu sekuel dari "kejahatan politik" yang melibatkan partai-partai oligarkis dan birokrasi. Sekuel lainnya tentu saja adalah proses pembiaran mata rantai kasus reklamasi Teluk Jakarta oleh partai-partai oligarkis lainnya --- selain Partai Gerindra (15) kursi --- yang notabene memiliki jumlah kursi terbanyak di DPRD Jakarta, yaitu PDIP (28), PKS (11), PPP (10), PD (10), Partai Hanura (10), dan Golkar (9). Sementara ini tidak (belum) ada fakta keterlibatan politisi partai-partai non Gerindra ini dalam kasus reklamasi teluk Jakarta. Tapi membiarkan kesalahan kebijakan tentu saja mengundang tanda tanya besar: ada apa di balik sikap diam partai-partai ini?

Semua politisi pasti tahu bahwa Gubernur Ahok melakukan kesalahan prosedural bahkan "menggunakan kewenangannya" untuk mewakili kepentingan pemilik modal yang sudah menancapkan jejak kuasa modalnya di Teluk Jakarta melalui kebijakan gubernur sebelumnya, Foke. Tak ada politisi partai yang menghentikan melalui proses politik di tingkat internal DPRD dan Pemprov DKI maupun dengan menggalang dukungan konstituennya atau publik Jakarta. Para nelayan maupun aktivis yang meributkannya sejak beberapa tahun ini tak didengar bahkan diabaikan.

Jika saja tidak ada operasi tangkap tangan (OTT), kasus pasti bergulir "setengah issue" bahwa hanya Ahok yang dikendalikan sindikasi pemilik modal. Sebutlah grup Agung Podomoro Land (Muara Wisesa Samudra), Agung Sedayu (Kapuk Naga Indah), Tangerang Internasional City, Bhakti Bangun Eramulia, Jakarta Propetindo, Manggala Krida Yudha, Pembangunan Jaya, Pelindo II, Kawasan Berikat Nusantara, dan Dwi Marunda Makmur. Ada juga PT Jaladiri Eka Paksi, yang disebut-sebut adalah bagian dari PT Jaladiri Nusantra, sebuah perusahaan milik Prabowo Subianto yang bergerak di usaha perikanan. 

Yang menarik tentu saja adalah Agung Sedayu Grup, perusahaan properti kelas kakap yang dalam beberapa usahanya berkongsi dengan Tommy Winata, pemilik PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang juga menggarap reklamasi Teluk Benoa. Proyek ini ditentang dengan keras oleh warga Bali. Sedangkan Agung Podomoro beberapa waktu lalu ditentang oleh ribuan petani di Karawang karena telah menguasai tanah petani seluas 350 hektar. Nah, penangkapan Sanusi justru makin membuka celah pengungkapan mata rantai korupsi skala besar yang patut diduga melibatkan politisi partai-partai di DPRD dengan pengusaha dan birokrat.

Akan ke arah mana kasus ini? Kita tentu berharap KPK tidak melokalisasi kasus ini sebatas lingkar kecil M. Sanusi, meski sangat disadari publik sulit berharap bisa mengungkap seluruh peta besarnya. Ada sejumlah kerumitan yang dihadapi. Pertama, ada kecenderungan kasus ini tidak hanya melibatkan politisi setingkat DPRD DKI. Sebab para pengusaha yang berkerubut dalam proyek ini adalah grup-grup bisnis yang ikut andil dalam pemenangan atau pemberian dukungan para presiden maupun politisi dalam kurun waktu pasca Orde Baru (saya tak punya data dukungan mereka kepada Presiden Jokowi-JK, terkecuali sekedar rumor dan insinuasi para nitizen yang malas pikir). 

Kedua, dengan format partai yang oligarkis seperti saat ini --- dan belajar dari pengalaman selama pasca Orde Baru --- tidak akan ada partai yang pasang badan untuk mengungkap skandal besar ini. Sebab secara teoritik maupun empirik, partai-partai tidaklah mewakili kepentingan kelas masyarakat nelayan atas rakyat pinggiran yang terganggu kepentingannya oleh proyek raksasa Teluk Jakarta maupun oleh korupsi yang menyertainya. Apalagi partai-partai pada umumnya cenderung memperlakukan kelompok-kelompok seperti ini sekedar sebagai entitas pemberi suara pada pemilu yang bisa dimobilisasi dengan berbagai cara.

Selain itu, pengungkapan urusan ini juga terkait dengan faktor ketiga, yaitu kecenderungan politisasi pemilihan gubernur 2017. Dalam konteks Pilgub, kasus ini dilokalisasi menjadi sekedar isu untuk menghadang Ahok. Atau sebaliknya menjadi isu yang bisa dipakai Ahok untuk menunjukkan bobroknya para politisi partai yang ingin menghancurkan elektabilitasnya atau ingin mendulang korupsi dari proyek Teluk Jakarta. Ini bisa dilihat dalam berbagai perdebatan di media mainstream dan terutama di media sosial. Cek saja betapa makin menjijikkan perdebatan ini karena sudah sarat dengan insinuasi politik. 

Proses perdebatan malah makin menjauh dari pembelajaran demokrasi yang sehat. Bahkan isu keadilan, kepentingan nelayan maupun lingkungan pun dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan politik yang sempit. Kecenderungan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari adanya manuver sejumlah petinggi partai --- yang diketahui memiliki hubungan dekat dengan elite-elite ekonomi di grup-grup besar ini --- yang sedang menyiapkan calon gubernur dan partainya untuk bertarung dalam pilkada 2017 bahkan pemilu 2019.

Diperlukan adanya tekanan publik yang lebih besar untuk mendorong kasus ini bergulir hingga ke pengungkapan keterlibatan banyak pihak. Juga untuk membendung agar kasus ini tidak digunakan sekedar memenuhi kepentingan menghadang atau sebaliknya memuluskan Ahok. Apalagi sekedar untuk memberi "karpet merah" kepada politisi atau partai oligarkis tertentu ingin menjadikan Jakarta sebagai ladang korupsi berkelanjutan untuk biaya politik.

Rangkaian kasus Teluk Jakarta dan kasus suap Muhamad Sanusi adalah isyarat penting bagi banyak pihak untuk mendorong transformasi radikal partai-partai politik. Bahkan isyarat untuk mendorong segera bertumbuhnya partai baru yang berbasis pada kepentingan rakyat dan kepentingan-kepentingan keberlanjutan lingkungan.

Akan lebih menarik untuk melihat apa yang akan dilakukan Partai Nasdem yang mengampanyekan diri partai bersih dan menjadi pendukung Ahok. Atau juga Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memersepsikan diri sebagai partai orang muda yang kini bekerja dengan "Teman Ahok". Dan, tentu saja ingin melihat apa yang akan dilakukan partai-partai oligarkis dan feodal pemilik kursi mayoritas menyikapi kasus ini dalam dinamika pemilihan gubernur. Tapi bikin saya gregetan adalah bagaimana Partai Hijau Indonesia (PHI) akan bersikap dan membangun konstituen yang militan untuk menguatkan gerakan green politic dengan belajar dari kasus ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun