Oleh Rio Ismail
Bagi yang ingin melakukan riset komunikasi politik, Pilgub DKI sungguh menarik untuk dicermati. Ahok, misalnya, kini menjadi lebih santun dan tidak lagi meledak-ledak. Juga tak lagi mengutip pesan islami tapi makin menjalankan agenda programatik yang memenuhi kepentingan warga Islam. Anies, makin menggebu-gebu teriak kepentingan Islam. Juga rajin mengunjungi basis-basis pemilih Islam. Di depan kolompok-kelompok rasis, sektarian dan penganjur kekerasan berbasis agama, dia bahkan menjanjikan "Jakarta Bersyariah". Namun tidak atau belum jelas bagaimana agenda programatik islamnya.
Meski demikian, apa yang dilakukan Ahok maupun Anies belum bisa diukur dengan parameter yang pernah digunakan Professor Scheherazade S Rehman dan Professor Hossein Askari (dua profesor dari The George Washington University ini pada 2011 mem-publish hasil riset mereka, "How Islamic are Islamic Countries", yang menempatkan Selandia Baru sebagai negara paling islami, dan Indonesia di urutan 140 dari 208 negara). Tapi bila dilihat secara praksis-programatis upaya penguatan kehidupan warga muslim lebih nampak pada apa yang dilakukan dan dikonsepkan Ahok-Djarod dibanding Anies-Sandi
Dalam urusan kata dan kalimat, Ahok itu ibarat kamus populer. Kata-katanya tidak perlu bikin publik pusing mencerna atau menafsirkan. Jelas, lugas, dan terkadang keras dan kaku. Bahkan bagi banyak orang yang terbiasa dihormati dan dipuja-puji, Ahok itu tidak sopan, dan mau menang sendiri. Anies? Dia adalah prosa dan puisi. Mahir bertutur dengan bahasa baik, apik dan terkadang menggubakan banyak abstraksi. Butuh kemampuan tertentu untuk mencernanya. Karena itu tdak semua orang bisa memahami Anies dalam konteks Pilgub DKI. Yang mudah ditangkap tanpa harus berpikir panjang adalah "simbol Islam" yang selalu dipakai Anies dalam kata maupun laku. Makanya tim Anis-Sandi pun menggunakan mesjid di berbagai kampung di Jakarta sebagai pusat kendali jejaring sosial pemilih muslim. Sebab hanya di tempat-tempat seperti itu delivery yang hirarkhis pesan atau simbol-simbol yang diusung Anies-Sandi menjadi lebih efektif dalam komunikasi politik.
  *****
Anies itu mengusung "paket lengkap" pendekatan komunikasi yang melanggar prinsip etik komunikasi. Ada deliberate vaguaness, kesamaran yang disengaja untuk maksud membatasi apa yang harus dipahami publik. Juga ada puffery, upaya melebih-lebihkan nilai atau fakta yang seringkali dibumbui dengan metafor yang menyesatkan. Dalam debat misalnya, beberapa kali Anies menggunakan distraction. Suatu cara yang bertujuan melindungi kelemahan dan kepentingan tertentu dengan cara menyudutkan pihak lawan. Cara-cara seperti inilah yang disebut Michael Foucault sebagai "permainan bahasa" atau "bahasa topeng". Atau bahasa "politesse" alias "kramanisasi", sebagaimana dimaksud Benedict Anderson dalam The Languages of Indonesian Politics. Dalam artian seperti inilah, Anies bisa disebut telah melakukan manipulasi atau distorsi simbol (bahasa) untuk mengalihkan perhatian publik atau untuk menyembunyikan kepentingan pribadi maupun kelompok, yang mestinya diketahui publik. Dengan kemampuan retorikanya yang baik, Anies mampu mengelabui publik dari hal-hal yang justru penting untuk diketahui publik.
Manipulasi simbol yang diikuti dengan mobilisasi kelompok-kelompok yang mengusung tema-tema sentimen rasis-sektarian ---yang berbasis pada tafsir-tafsir absolut dan dipaksakan dengan pendekatan kekerasan--- telah menunjukkan dengan jelas ketidakmampuan Anies dalam membangun kekuasaan sebagai sebuah hubungan yang diaktifkan, diperkuat, dan dipertahankan melalui proses komunikasi. Foucault menyebut situasi seperti ini sebagai kegagalan menegakkan kekuasaan melalui proses konsolidasi, produksi, akumulasi, sirkulasi, dan fungsi sebuah sistem diskursus.
****
Dalam lakon Anies, komunikasi politik telah berubah menjadi sekedar "permainan bahasa" yang diwarnai manipulasi simbol. Bahkan telah berkembang jauh menjadi pendangkalan diskursus. Anies telah menghilangkan fungsi komunikasi politik sebagai tolok ukur kelayakan proses demokrasi. Jika dalam perspektif Habermas komunikasi politik memiliki fungsi psiko-sosialnya ---yaitu mengubah model aspirasi yang diekspresikan melalui aksi-aksi kekerasan revolusioner menjadi aspirasi yang diwujudkan dalam bentuk "komunikasi yang bebas penguasaan"--- di tangan Anies komunikasi politik justru telah memberi inspirasi bagi bertumbuhnya proses komunikasi yang berbasis kekerasan, rasisme dan sektarianisme.
Upaya ke arah ini tentu saja sudah dimulai oleh kelompok-kelompok rasis-sektarianis di sekitar Anies yang telah memanfaatkan "kekhilafan" dalam insiden Al Maidah menjadi skema penistaan yang membuka "pintu masuk" bangkitnya politik sektarian. Ini juga yang kemudian dikapitalisir menjadi satu-satunya pendekatan untuk menghadang dan mematikan hak-hak politik Ahok dalam proses demokrasi. Di luar dari itu, tentu tidak ada cara lain yang lebih beradab untuk menghadang Ahok. Anies kemudian memolesnya dengan berbagai bentuk "permainan bahasa" yang tidak mudah dikenali banyak orang.
Jadi, model pendekatan komunikasi politik Anies sesungguhnya jauh lebih berbahaya dibanding gaya komunikasi meledak-ledak atau ketidaksantunan dan "mulut ember" Ahok.Â