Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan lagi Ambil S2 di Kota Yogya dan berharap bisa sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Pesan Ayah dan Kado Terindah di Hari Fitri

23 Mei 2019   08:56 Diperbarui: 23 Mei 2019   08:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kanigoro.com)

Mulai dari titik ini aku memandang sudut-sudut Ibu Kotaku yang ternyata diselimuti oleh angkara murka yang tiada jelas. Ingin berteriak kenapa Ibu kotaku harus begini..

Siang itu aku melihat dari layar kaca di dalam rumahku. Betapa teriak-teriakan, maki-makian, kini sudah berganti dengan batu-batuan. Padahal sejak kecil aku diajarkan supaya hidup penuh dengan saling menghargai, saling menghormati dan jangan maksakan kehendak. 

Dan kini semangat itu seakan sirna tiada berbekas. Kutanyakan ayahku, "ada apa ini Ayah?"

Dia cuma bisa menjawab, "Berdoa saja. Mungkin itu yang bisa kita lakukan sampai saat ini. Doakan supaya mereka tobat. Doakan supaya Pak Polisi kita kuat".

Usai aku dengarkan jawaban Ayah, pergi menyusuri tepian sawah dekat rumah. Memandangkan wajah hingga ke titik perbatasan sawah yang sudah mulai menguning. 

Menghirup udara, mencium bau padang sawah yang segera menusuk perlahan-lahan ke dalam otakku. Segera membuyarkan gejolak hatiku yang sejak tadi kena panas semburan kebencian dan kemarahan mereka.

Ku bersyukur punya padang sawah yang setiap hari boleh kupandang. Tiga bulan tak terasa sudah berlalu. Boleh ambil bagian tanam bibit-bibit padi yang sudah disemai oleh orang tuaku.

Tak terasa juga saat itu. Broi yang harus pergi menaiki bus yang sudah terparkir di depan kampung kami. Betapa massifnya ajakan tuk ikut berjuang. Katanya demi perjuangkan jalan Allah. Tapi sebenarnya perjuangkan satu Sosok Besar yang kalah tapi sulit mau menerima kekalahannya. 

Bahkan ustad yang aku kagumipun ternyata sudah terkena jerat culas dan naifnya politik. Akibat media sosial yang tak kerap kabarkan kebohongan, kebencian. 

Padahal seharusnya dia menjadi tameng pelindung terhadap serangan kebencian itu. Meneduhkan dan memberikan pandangan yang menyejukkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun